Laman

Senin, 05 Januari 2009

Hamka dan Pluralisme di Indonesia



Oleh: Helmi Hidayat

Menyambut 100 tahun Buya Hamka (1908 – 2008), Yayasan al-Azhar menggelar Dialog Terbuka pada 7 April 2008. Acara ini meriah karena sejumlah ulama asal Malaysia dan Mesir diundang untuk membahas pemikiran tokoh modernis bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amarullah ini.

Jauh sebelum acara itu digelar, panitia menggelar acara yang tak kalah menarik – sebuah tablig akbar di Jakarta yang digelar Jumat (15/02/08). Dalam spanduk tertulis bahwa panitia mengundang para pembicara berkaliber nasional, mulai dari Prof. Dr. H. Didin Hafidhuddin dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), KH Cholil Ridwan dari Majlis Ulama Indonesia (MUI), Syuhada Bachri Lc dari Dewan Dakwah dan Habib Rizieq Shihab, ketua Front Pembela Islam (FPI).

Perhelatan ‘’100 Tahun Buya Hamka’’ dengan serentet agenda acaranya ini layak mendapat catatan tersendiri. Di tengah mengentalnya kembali politik aliran di era reformasi kali ini, yang ditandai dengan lahirnya banyak partai politik berasaskan agama serta mengerasnya fundamentalisme beragama di beberapa daerah di Indonesia, sungguh menarik sebuah tablig akbar dan dialog terbuka berkelas internasional tentang seorang tokoh pluralis dan inklusif sekaliber Hamka digelar. Apalagi tokoh-tokoh yang diundang berbicara dalam tablig akbar itu pun bukan orang sembarangan dan berasal dari institusi atau organisasi terpandang pula.

Tentu bukan tanpa maksud ketika panitia memilih tema yang simpatik untuk perhelatan ini -- mengenal pribadi lembut berkarakter, sosok halus berprinsip, tokoh modernis kharismatik – sementara di sisi lain mengundang tokoh-tokoh dengan karakteristik yang khas untuk menjadi pembicara. Banyak fenomena bisa dikaji dari acara itu, sebanyak hal menarik yang juga muncul. Misalnya menarik untuk mengkaji bagaimana Habib Rizieq Shihab, yang corak dan haluan pemikirannya tentang keislaman bisa ditebak dari nama organisasi yang dipimpinnya itu, berbicara tentang sosok Hamka yang metropolis, pluralis dan inklusif.

Demikianlah, lewat perhelatan seabad Hamka kali ini, kita sesungguhnya tengah menggenggam kesempatan emas untuk menghangatkan kembali wacana inklusivisme dan pluralisme dalam Islam, seperti yang dulu pernah diperjuangkan tokoh karismatik ini.

Hamka Tokoh pluralisme

Hamka adalah tokoh Islam modernis yang melewati zamannya dalam menafsirkan konsep kenegaraan dan kebangsaan dalam perspektif Islam. Disebut melampaui zamannya karena bahkan hingga saat ini pun, tafsirnya tentang pluralisme dan insklusivisme dalam Islam yang ditulisnya dalam Tafsir al-Azhar tetap mengundang kontroversi. Padahal, ia mulai menulis buku tafsir yang berjilid-jilid itu sejak 1967, ketika usia Indonesia masih sangat belia dan masyarakatnya terkotak-kotak dalam beragam politik aliran.

Betapa Hamka sangat mendukung pluralisme yang dibutuhkan masyarakat Indonesia ini bisa dilihat dari caranya menafsirkan QS al-Baqarah: 62. Terjemahan ayat ini, yang menjadi salah satu pendukung wacana pluralisme dalam Islam dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat bahkan sejak zaman para sahabat, berbunyi: ‘’Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani dan orang-orang Shabi’in yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.’’

Saat menafsirkan ayat ini, dalam Tafsir al-Azhar jilid I – II, terbitan Pustaka Panjimas, Jakarta, 1982, edisi revisi Maret 2004, secara mencengangkan Hamka menulis di halaman 263: ‘’Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merek apa yang diletakkan kepada mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu.’’

Hamka secara eksplisit melihat ayat di atas sebagai firman Allah SWT yang mempersatukan agama-agama dan karena itu tidak ada alasan sama sekali orang saling bertikai atas nama agama. Kata kunci yang menjadi syarat mutlak dalam hidup bersama itu adalah beriman kepada Allah dan Hari Pembalasan. Selagi orang beriman kepada kedua hal itu, entah dia Muslim, Nashrani, Yahudi maupun Shabi’in dan imannya tadi diejawantahkan dalam bentuk amal shalih, maka pelakunya akan mendapat pahala di sisi Allah. Dia mencontohkan Abdullah bin Salam dan Ubai bin Ka’ab dari kalangan Yahudi, serta Tamim ad-Dari, Adi bin Hatim dan Kaisar Habsyi dari kalangan Nashrani sebagai contoh orang-orang yang beriman pada Allah dan Hari Pembalasan serta beramal shalih dan karenanya mendapat ganjaran pahala sesuai bunyi QS al-Baqarah: 62 tadi (hal. 266).

Tidak semua orang, tentu saja, setuju dengan tafsir serupa itu. Berbekal QS Ali Imran 85 -- yang artinya berbunyi ‘’barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi’’ – banyak kalangan Islam berpendapat bahwa hanya Islamlah satu-satunya agama yang benar dan diterima Allah SWT seraya menolak agama lain. Bahkan sejak zaman sahabat pun, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, bersandar dari penjelasan Ibnu Abbas, demi mempertahankan pendapat serupa itu menyatakan bahwa QS al-Baqarah: 62 telah dihapus (mansyukh) oleh QS Ali Imran 85.

Namun demikian, demi mempertahankan pendapatnya tentang keniscayaan pluralisme dalam Islam, secara luar biasa Hamka menolak tafsiran ketiga sahabat itu. Dia berpegang pada hadits Nabi saat menjawab pertanyaan Salam al-Farisi, keturunan Persia yang masuk Islam, tentang bagaimana nasib orangtua dan kerabatnya yang belum sempat masuk Islam. Nabi kemudian menjawab pertanyaan itu seraya membacakan QS al-Baqarah: 62 tadi (hal. 270 – 271).

Peran tokoh agama

Di tengah merebaknya politik aliran, fundamentalisme beragama, bahkan pembantaian umat manusia atas nama agama seperti yang terjadi di Poso, Ambon, dan beberapa tempat lain di Tanah Air tercinta, tulisan ini hanya ingin mengingatkan kembali pentingnya hidup berdampingan di tengah fakta multikulturalisme yang tumbuh subur di Indonesia. Hamka telah memulainya sejak 41 tahun silam dan kini menjadi kewajiban kitalah untuk melaksanakan warisan ilmunya yang dalam itu demi mengatasi keragaman dan mewujudkan kedamaian hidup berbangsa dan bernegara.

Kiai besar yang banyak merantau dan berdialog dengan tokoh-tokoh besar semacam HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansur, A. Hassan atau M. Natsir ini memberi wasiat dalam tafsirnya itu betapa penting menunjukkan sikap saling mengerti dan menghormati sesama anak bangsa, apa pun label kelompok dan agama yang mereka anut. Dalam konteks ini, Hamka sangat berharap tokoh-tokoh agama berperan besar dalam menyuburkan semangat toleransi yang terkandung dalam al-Qur’an al-Karim.

‘’Kita tidak akan bertemu suatu ayat yang begini penuh daya toleransi dan lapang dada, hanyalah dalam al-Qur’an!’’ tulis Hamka di halaman 267 – 268 Tafsir al-Azhar yang dikarangnya. ‘’Suatu hal yang amat perlu dalam dunia modern. Kalau nafsu loba manusia di jaman modern telah menyebabkan timbul perang-perang besar dan senjata-senjata pemusnah, maka kaum agama hendaklah mencipta kepada Allah dan Hari Akhirat, serta melestarikannya dengan amal yang shalih. Bukan amal merusak.’’

Perhelatan ‘’100 Tahun Buya Hamka’’ telah berjalan mulus sesuai rencana. Dari situ kita berharap lahir sikap-sikap bijak para pemuka agama yang berdialog di dalamnya, sebijak butir-butir tafsir Buya Hamka.

Jakarta, medio April 2008

1 komentar:

Ahmad Suganda mengatakan...

Content dari entri blog ini secara keseluruhan sangat menarik dan bisa menjadi bahan/ acuan yg berguna tuk sy pribadi, semoga tuk pembaca lainnya juga. Tetap berkarya bang...!