Oleh: Helmi Hidayat
Entah mengapa ia disebut Lampu Merah. Padahal, di tiang itu juga tergantung lampu hijau dan kuning. Mungkin menyebut Lampu Rahjauning – kependekan dari Merah, Hijau dan Kuning – terasa berat buat masyarakat, meski sebagian masyarakat di Jawa Timur toh telah menyebut tiang yang sama sebagai Bangijo – kependekan dari kata abang (merah) dan ijo (hijau). Atau mungkin menyebut traffic light terasa dipaksakan, terkesan sok ‘’kebarat-baratan’’, meski di Bali penyebutan traffic light lebih umum ketimbang Lampu Merah.
Belum ada survei, memang, mengapa lampu pengatur lalu lintas itu lebih terkenal sebagai Lampu Merah. Padahal, dengan hanya menyebut lampu merah, tanpa terasa orang sebenarnya telah melakukan diskriminasi atas lampu hijau dan kuning. Mengapa hanya merah? Bukankah ketiga lampu itu sederajat, punya hak dan otoritas hukum yang sama mewakili polisi mengatur lalu lintas?
Jawabnya bisa terserah Anda. Tapi, ini teori paling sederhana, bisa jadi setiap kali lampu merah menyala, setiap kali itu pula orang merasa tertekan dan dikalahkan: Mereka dipaksa berhenti, suka atau tidak, sedang terburu-buru atau banyak waktu. Ini pasti menimbulkan frustrasi, rasa diintimidasi, diteror, juga kejengkelan. Lambat laun menyublim di kepala mereka bahwa lampu merah begitu perkasa, sangat digjaya. Ia seperti Totem. Inilah yang menyebabkan orang jadi lebih awas kepada lampu merah ketimbang lampu kuning atau hijau. Makanya wajar jika lampu merah jadi lebih populer ketimbang lampu hijau atau lampu kuning. Layaknya hukum dalam banyak buku suci, ayat-ayat yang mengharamkan atau melarang pasti lebih lebih tegas dimuat dan sering dihafal ketimbang banyak ayat yang membolehkan.
Terlepas mana kemungkinan paling benar, hal terpenting tetap saja kesepakatan kita: Setiap kali lampu merah menyala, kita harus berhenti. Berurusan dengan Lampu Merah memang bisa sangat panjang, kadang berbelit-belit, bahkan menjengkelkan. Suatu malam, misalnya, sekitar pukul 23:00 lebih sedikit, saya pernah jengkel bukan main gara-gara Lampu Merah. Malam itu saya, ditemani isteri saya, dalam perjalanan pulang. Di Jl. T.B. Simatupang dekat gedung PP Plaza, tepatnya di pertigaan ke arah Jl. Condet Raya, Jakarta Timur, kami berhenti. Lampu merah menyala. Jalanan sepi.
Tiba-tiba isteri saya nyeletuk: ‘’Pa, kayaknya sepi. Jalan saja.’’
Saya diam saja. Bukan takut polisi, tapi berat buat saya mengkhianati kontrak sosial yang sudah kita sepakati bersama: lampu merah menyala kita harus berhenti, lampu hijau menyala kita boleh jalan, lampu kuning menyala kita harus hati-hati. Karena saya diam saja, sekali lagi isteri saya meminta saya melanggar Lampu Merah. Saya menoleh pelan ke arahnya. Saya jelaskan baik-baik bahwa berhenti ketika lampu merah menyala adalah wajib, ada atau tidak ada polisi, ramai atau sepi. Kesepakatan ini tak bisa ditawar. Sekali saja kita terbiasa menganggap remeh dengan melanggar hal-hal kecil, misalnya melanggar Lampu Merah ini, besok atau minggu depan kita akan mudah melanggar hal-hal besar – misalnya menggarong uang negara mumpung jadi pejabat. Saya ingat betul kalimat saya kepadanya waktu itu – mudah-mudahan isteri saya tersenyum teringat kembali kisah ini: ‘’Kalau bukan kita yang menghormati kesepakatan yang kita buat, siapa lagi yang akan menghormatinya, Ma?’’
Kami terdiam. Tapi, entah jengkel, entah kehabisan kalimat menyuruh saya melakukan ‘’dosa kecil’’, tak lama isteri saya berkata lagi sambil celingukan ke kanan ke kiri: ‘’Di sini banyak preman lho, Pa. Kemarin ada mobil diketok-ketok kacanya.’’
Saya paham, tapi juga jengkel. Bagaimana mungkin isteri saya sampai begitu gigih memaksa saya melakukan pelanggaran – kalau tak mau disebut dosa? Akhirnya, dengan sangat jengkel, juga rasa kalah karena tak mau ribut, saya siap-siap tancap gas. Tapi -- dan inilah pangkal bom pertengkaran malam itu -- begitu mobil baru saja bergerak, tiba-tiba saja lampu kuning menyala. Hah, itu tanda sebentar lagi lampu hijau menyala. Kontan saya naik pitam. Kalau saja sedetik bertahan, saya pasti tidak akan merasa kalah, tidak merasa diteror, tidak merasa dipaksa melanggar. Betul, ketika mobil kami bergerak, lampu hijau baru saja menyala. Kami sebenarnya terbebas dari hukum. Tapi nurani saya tak pernah bohong: dasar mobil itu bergerak bukanlah ketinggian moral saya menghormati kesepakatan, tapi justru hendak melanggarnya. Padahal, kalau saja isteri saya sabar sedikit, dan saya pandai mengelola situasi, pasti kami tetap terhormat. ‘’Kita enggak jadi binatang kayak sekarang,’’ kata saya dengan nada tinggi.
Lho, kok binatang? Apa hubungan melanggar Lampu Merah dengan binatang?
Itulah mengapa tadi saya katakan bom pertengkaran. Isteri saya tidak paham, dan karena itu tidak terima, saya menyebut kata binatang. Di satu sisi ia hanya ingin bersikap simpel, melanjutkan perjalanan meski lampu merah menyala. Toh jalanan sepi. Di sisi lain bisa jadi malam itu dia menganggap saya terlalu berlebihan. Bagaimana mungkin hanya melanggar lampu lalu-lintas orang harus dianggap binatang?
Maka jadilah, selama perjalanan, saya berceramah sedikit filosofis kepada isteri saya yang memilih diam. Mula-mula saya jelaskan kepadanya definisi dan perbedaan kata zhalim dan muttaqi. Kata zhalim adalah bentuk subjek dari kata kerja zhaluma, yazhlumu; yakni ‘meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya’. Orang disebut zhalim kalau ia meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Misalnya menaruh uang negara ke rekening pribadi, mematikan orang yang seharusnya hidup, minum racun (mestinya vitamin), berjalan ketika lampu merah menyala, atau justeru berhenti ketika lampu hijau menyala. Implementasi kezaliman terakhir ini bukan tak ada. Perhatikan sopir Metromini dan Kopaja di Ibukota. Seringkali mereka sengaja berhenti ketika lampu hijau menyala agar kendaraan-kendaraan pribadi di belakang mereka terhambat. Ini agar pesaing mereka, yakni Metromini atau Kopaja lain di belakang kendaraan-kendaraan pribadi itu, juga terhambat. Mereka baru tancap gas ketika lampu merah menyala, lalu berhenti persis di seberang perempatan jalan seraya memanen penumpang tanpa satu pun pesaing. Sesungguhnya, teramat luar biasa kecerdasan para sopir di Ibukota negara kita!
Definisi zhalim selalu diletakkan berhadap-hadapan dengan definisi muttaqi, atau orang yang bertakwa. Kata muttaqi adalah bentuk subjek dari kata kerja ittaqa, yattaqi; artinya ‘menjaga’ atau ‘memelihara’. Ketakawaan, dengan demikian, berarti ‘menjaga dan memelihara diri dari tindakan melanggar hukum alam atau sunnatullah.’ Akibat pelanggaran ini pelakunya dihukum karena menimbulkan chaos. Ayam selamanya bertelur, ular berganti kulit, pohon berbuah, air mengalir ke bawah, malam berganti siang, siang berganti malam, Bulan mengitari Bumi, Bumi mengitari Matahari dan seterusnya alam ini secara stabil mengatur diri mereka sendiri adalah bentuk ketakwaan mereka kepada Sang Pencipta. Dengarkanlah, betapa indah Tuhan melukiskannya: ‘’Hanya kepada Allahlah tunduk patuh segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri maupun terpaksa, dan (bahkan) bayang-bayang mereka pun (sujud patuh pula) di waktu pagi dan petang hari.’’ (QS Al-Ra’d: 15)
Toh, kemauan berbeda dengan keterpaksaan. Ketakwaan makhluk-makhluk tadi, yang ditunjukkan lewat konsistensi mereka memelihara diri dari melanggar hukum alam, sesusungguhnya adalah keterpaksaan. Mereka melakukan semua itu karena hukum alam memang mengharuskan mereka melakukannnya; jadi bukan kemauan mereka. Jika tidak, akan terjadi chaos di jagad raya ini. Sampai kiamat nanti Matahari dan Bulan konsisten pada garis edar dan porosnya masing-masing, pohon tidak beranak buaya, sebagaimana para malaikat konsisten dengan tugas dan peran masing-masing: Jibril menyampaikan wahyu, Izrail mencabut nyawa, Raqib – Atid mencatat amal, Israfil meniup sangkakala, begitu seterusnya tanpa pernah ada kolusi di antara mereka.
Namun harus dicatat, semua makhluk tadi, termasuk para malaikat, tak pernah melanggar sunnatullah karena mereka memang tak mampu melakukannya. Sejak awal mereka sudah didesain dan diformat seperti itu, tanpa dibekali alat, perangkat, esensi, atau apa pun namanya, yang membuat mereka bisa membantah perintah. Mereka tak ubahnya robot-robot. Kepatuhan serupa ini tidak membuat Allah puas. Keterpaksaan tidak membuat Zat Agung Mahasuci itu bisa berbangga kepada makhluk-makhluk-Nya sendiri. Apa yang bisa dibanggakan dari dari keterpaksaan?
Karena itu, untuk menguji adanya ketakwaan yang tulus dari makhluk-makhluk-Nya, yang muncul dari kesadaran sendiri, tanpa paksaan, dari sikap kagum dan takjub, Allah lalu sengaja menciptakan makhluk yang bisa berpikir dan bertindak bebas, dinamis, punya free will dan free act, dan karena itu mampu membantah setiap perintah-Nya. Hanya lewat makhluk sejenis inilah kehebatan Allah bisa teruji dan Dia bisa merealisasi obsesi-Nya sendiri ketika Ia berkata dalam suatu hadits qudsi: ‘’Dahulu Aku tak ubahnya benda berharga yang tersembunyi. Lalu Aku ingin diri-Ku dikenal. Maka Aku ciptakan makhluk-makhluk supaya mereka mengenal jatidiri-Ku.’’ Jika makhluk-makhluk ini masih saja sujud dan tunduk padahal mereka mampu membantah-Nya, tak ada kata lain kecuali bahwa kekaguman, ketakjuban, kepatuhan dan ketakwaan hanya untuk Dia – Sang Dzul jalali wal-ikram.
Kepada isteri saya waktu itu saya tegaskan, ‘’Makhluk yang sengaja dipersiapkan untuk membantah itu adalah kamu, saya, kita semua, umat manusia!’’
Nah, jika kita mematuhi lampu merah itu karena didasarkan ketakwaan pada Allah SWT demi terciptanya stabilitas di antara manusia, Allah akan bangga dengan kemanusiaan kita. Tapi jika Anda tetap dan terus melanggar peraturan lampu merah itu lalu terjadilah instabilitas di antara manusia, jangankan malaikat, binatang pun enggan melihat wajah Anda.
Senin, 05 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar