Laman

Selasa, 09 Desember 2008

Ibadah Kurban, Islam dan Semangat Kemanusiaan


Oleh: Drs. H. Helmi Hidayat, MA

(Khutbah ini disampaikan pada perayaan Iedul Adha 1429 H/2008 M, di hadapan jamaah masjid al-Balaagh, Pos Pengumben, Joglo, Jakarta Barat. Silakan mengcopy sebagian atau seluruhnya untuk disampaikan dalam khutbah-khutbah di mana pun agar menjadi 'ilmun yuntafau' bihi buat saya.)

Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Saudara-saudara kaum Muslimun yang berbahagia

Sejak fajar menyingsing di pagi hari ini sampai matahari terbenam tanggal 13 Dzulhijjah nanti, atau dikenal sebagai Hari Tasyriq selama empat hari berturut-turut, kita berada dalam suasana Idul Adha. Inilah Id terbesar dalam Islam. Di hari Id yang penuh kebahagiaan ini, tak terbayangkan betapa dahsyatnya ketakwaan orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Jutaan Muslim menyembelih hewan kurban karena Allah untuk dibagikan kepada sesama, meski mereka bisa saja bersikap bakhil tidak melakukannya. Jutaan Muslim menyapa sesama dengan semangat persaudaraan Islam, meski mereka bisa saja bersikap egoistis, memperkaya diri sendiri, bahkan merampas harta orang lain. Tak terbayangkan apa jadinya planet Bumi ini jika umat manusia, makhluk cerdas yang mampu berbuat apa saja dan bisa membantah perintah Allah SWT, tidak bertakwa kepada-Nya.

Pada hari ini, demi untuk mengasah tingkat ketakwaan umat manusia, khususnya orang-orang yang beriman kepada-Nya, kita diperintahkan oleh Dzat Mahaagung yang kita sembah siang malam itu untuk bershalat Idul Adha dan menyembelih hewan qurban. Allah SWT berfirman dalam QS al-Kautsar: 1 – 3:

إنّا أعطيناك الكوثر، فصلّ لربّك وانحرْ، إن شانئك هو الأبترُ


‘’Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Alllah).’’

Mari kita memohon semoga shalat Id yang baru saja kita laksanakan ini bukan saja diterima oleh Allah SWT, tapi juga membawa keberkahan hidup, ketentraman jiwa, dan khutbah yang akan disampaikan pun menjadi obor penerang batin kita yang gelap akibat modernisme dan hedonisme yang terus berkembang. Karena itu, penting khatib peringatkan lewat podium ini bahwa mendengar khutbah, baik setelah shalat Idul Fitri maupun Idul Adha, adalah bagian dari rukun shalat Id. Jangan pulang atau membubarkan diri sebelum khatib menyelesaikan khutbahnya. Sesuai syariah, shalat Id seseorang tidak sempurna jika ia tidak mendengarkan khutbah Id sampai selesai.

Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Saudara-saudara kaum Muslimun yang berbahagia

Menyembelih hewan kurban ditetapkan sebagai bagian dari ajaran Allah SWT dimulai dari perintah Sang Khalik kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih anaknya, Ismail AS. Kisah ini bisa kita rujuk dalam QS Al-Shaffat (37): 102:

فلما بلغ معه السعي قال يبُنـَيَّ إنّى أرى في المنام أنّى أذبحُكَ فانظر ماذا ترى، قال يـأبت افعل ما تؤمر ستجدنى إن شاء الله من الصّابرين

‘’Maka, tatkala anak itu (Ismail) sampai (pada umur untuk sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, dia berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, apa pendapat kamu? (Ismail menjawab): ‘Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, niscaya engkau akan mendapatiku jika Allah menghendaki termasuk orang-orang yang sabar.’’

Namun demikian, kisah ini hendaknya tidak ditafsirkan bahwa Islam mengajarkan Barbarianisme dan sikap-sikap tidak manusiawi lainnya. Islam diturunkan bukan untuk mengajarkan pertumpahan darah dan menyebarkan kebengisan, tapi justru untuk menjadi agama kasih, agama ketentraman, agama kemanusiaan. Dari ajaran Rasulullah SAW kita tahu bahwa ternyata perintah yang sangat memberatkan itu hanyalah ujian Allah SWT kepada Ibrahim dan Ismail alaihimas-salam, untuk mengukur tingkat ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Kisah heroik kedua nabi itulah yang bisa membuat Allah SWT berbangga diri kepada seluruh makhluk-Nya, baik yang berada di bumi maupun di langit. Lewat peristiwa heroik kedua hamba-Nya itu, Allah ingin menegaskan kepada seluruh makhluk-Nya di alam mayapada ini bahwa Dialah memang satu-satunya Tuhan yang Mahahebat, Mahaagung, dan karena itu layak disembah dan dipatuhi.

Sebagai manusia, baik Ibrahim maupun Ismail alaihimas-salam sebenarnya bisa saja membantah perintah Allah SWT yang tidak masuk di akal tadi, sebagaimana kita juga bisa saja membantah perintah Allah SWT untuk tidak beriman kepada-Nya, tidak shalat, tidak berpuasa, tidak berzakat, tidak berhaji, bahkan tidak menyembelih hewan kurban. Tapi, justru karena kedua nabi itu tunduk pada keagungan dan kehebatan Allah SWT itulah perintah menyembelih leher manusia yang tidak masuk akal itu tetap mereka lakukan, sebagaimana kita yang juga tidak membantah segala perintah dan larangan-Nya karena kekeguman kita pada keagungan dan kehebatan Sang Khalik, Rajadiraja seluruh alam mayapada ini.

Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Saudara-saudara kaum Muslimun yang berbahagia

Sebagai orang beriman, kita harus yakin bahwa menyembelih hewan kurban yang kita lakukan nanti akan mendapat ganjaran luar biasa dari Allah SWT. Rasulullah SAW berjanji dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Majah:

الأضحية لصاحبها بكلّ شَعرةٍ حسنَةٌ - ابن ماجه -


“Pahala berkurban itu diberikan kepada pelakunya dalam bentuk satu kebaikan untuk setiap helai bulu hewan yang dipotong.’’

Menurut kajian para antropolog, jauh sebelum Ibrahim AS diperintahkan untuk berkurban, umat manusia juga sudah memiliki tradisi menyembelih hewan-hewan kurban mereka untuk dipersembahkan kepada para dewa. Namun, berbeda dengan tujuan para penganut agama-agama kuno itu, yang menyerahkan sesajian hewan kurban mereka untuk dimakan para dewa mereka, tujuan berkurban dalam Islam adalah untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dan memperoleh derajat takwa di hadapan-Nya. Hendaknya kita camkan baik-baik, Allah SWT yang Mahakaya dan Mahasuci, yang kita sembah siang dan malam itu, sama sekali tidak butuh daging dan darah hewan yang kita potong. Allah tidak butuh pada makhluk ciptaan-Nya sendiri. Dia Mahakaya. Kalaupun kita diperintahkan juga menyembelih hewan kurban, itu karena Allah senang sekali dengan tingkat kepatuhan kita kepada-Nya saat menyembelih dan membagi-bagikan daging hewan kurban tadi kepada sesama manusia. Allah senang kita sesama manusia -- karena Dia -- saling mencintai, saling mengasihi, saling bertoleransi, membangun peradaban dunia yang lebih sejuk dan tenteram tanpa darah, tanpa dendam, tanpa ego sektoral, dan tanpa fanatisme buta. Dalam satu hadits shahih Rasulullah SAW bersabda:

لاتنال اللهَ لحومُها ولا دماؤُها ولكن التّقوى - رواه أحمد -


‘’Bukan daging dan darah hewan kurban itu yang sampai kepada Allah, tapi ketakwaan (pelaku kurban) itulah yang sampai kepada-Nya.’’

Hadirin dan hadirat sidang Idul Adha yang berbahagia …
Inilah sesungguhnya inti ajaran berkurban dalam Islam, yakni untuk menegaskan sekali lagi bahwa Islam adalah agama kemanusiaan. Agama inilah yang berkali-kali menegaskan dalam kitab sucinya al-Quran maupun ajaran-ajaran Rasulullah SAW bahwa peduli kepada kemanusiaan adalah inti dari diturunkannya agama ini ke planet Bumi.

Marilah kita mengambil studi kasus, sejauhmana sebenarnya kita meresapi kepeduliaan kepada kemanusiaan yang menjadi inti ajaran Islam. Di sejumlah pengajian untuk pembekalan manasik haji, para calon jemaah haji kerap bertanya apa yang sebaiknya mereka lakukan dalam berkurban: apakah dilakukan di tanah suci atau di Tanah Air? Pertanyaan ini mereka ungkapkan karena ada dilema di sana. Jika berkurban di Tanah Air, mereka khawatir tidak mendapatkan pahala beribadah 1.00.000 kali lipat di tanah suci Makkah. Tapi, jika mereka berkurban di tanah suci, ada rasa bersalah di hati mereka: hewan kurban yang mereka potong itu lebih dibutuhkan di Tanah Air ketimbang di Makkah. Di Tanah Air tercinta kita ini, tak kurang dari 60 juta orang tercatat sebagai orang miskin. Sementara di tanah suci, jika 50% saja dari seluruh jamaah haji melaksanakan kurban, tak kurang dari 2 juta orang menyembelih hewan kurban di waktu dan tempat yang sama. Ini belum termasuk jutaan penduduk Arab Saudi lainnya yang tidak berhaji tapi mereka tetap berkurban!

Berdasarkan kedua fakta sosiologis seperti itu, terhadap pertanyaan di atas mestinya jawaban ditekankan pada pilihan kedua, yakni hendaknya para jamaah haji itu berkurban di Tanah Air. Banyak orang miskin jarang makan daging di negeri yang disebut-sebut sangat subur ini. Jika mereka berpesta beberapa potong daging gratis saja setahun sekali, itu pun dengan antrean panjang dan berebut kupon untuk mendapatkannya, dampaknya cukup lumayan. Paling tidak, untuk sejenak, kegembiraan sesaat mereka itu bisa melupakan sejumlah problem kemiskinan struktural yang menumpuk di dada mereka.

Ada tiga alasan mengapa jamaah haji dianjurkan untuk berkurban di Tanah Air saja ketimbang di tanah suci. Alasan pertama, kekhawatiran tidak diperolehnya pahala ribuan kali lipat dari Allah SWT hanya karena kita tidak berkurban di tanah suci agak berlebihan. Rasulullah SAW memang pernah bersabda dalam satu hadits riwayat Ahmad bahwa Allah SWT akan melipatgandakan pahala ibadah seseorang – dalam hadits ini disebutkan shalat – 1.000 kali lipat jika itu dilakukan di Masjid Nabawi dan 100.000 kali lipat jika itu dilakukan di Masjid al-Haram. Namun, marilah kita berbaik sangka kepada Allah SWT bahwa Tuhan Yang Mahapemurah itu tetap memberikan pahala 100.000 kali lipat atas ibadah kurban yang kita lakukan di tanah suci, meski hewan kurbannya dipotong di Tanah Air. Mengapa? Ini karena kita tetap bisa dengan sengaja mengungkapkan niat beribadah kurban itu di tanah suci, meski hewan korban kita itu disembelih sanak saudara kita di Tanah Air.

Alasan kedua, berbeda dengan tujuan para penganut agama-agama kuno yang sudah dijelaskan tadi, yang menyerahkan sesajian hewan kurban mereka untuk dimakan para dewa mereka, tujuan berkurban dalam Islam adalah untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dan memperoleh derajat takwa. Sekali lagi harus ditegaskan di sini, Allah SWT yang Mahakaya dan Mahasuci tidak butuh daging dan darah hewan yang kita potong, tapi Dia senang sekali dengan tingkat kepatuhan kita kepada-Nya saat menyembelih hewan kurban, lalu membagi-bagikan daging hewan kurban itu kepada sesama manusia. Cinta kasih, cinta berkorban, cinta kemanusiaan, itulah inti ajaran Islam.

Dengan kata lain, jika kita berkurban di Tanah Air dengan niat peduli pada fakir miskin yang kita tinggalkan selama berhaji, kita akan mendapatkan dua pahala sekaligus. Pahala pertama datang dari niat berkurban yang kita ungkapkan di tanah suci dan itu bernilai ratusan ribu kali lipat seperti yang dijanjikan Rasulullah SAW, sementara pahala kedua mengalir dari sikap peduli kita yang konsisten kepada penghormatan atas kemanusiaan.

Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Hadirin sidang shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah SWT …

Khutbah singkat ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyalahkan orang yang tetap ingin berkurban di tanah suci karena keyakinan dan harapan mereka akan pahala yang berjumlah ratusan ribu kali lipat itu; tapi khutbah ini ingin menggarisbawahi filosofi dasar dari turunnya perintah berkurban itu sendiri, yakni penghormatan pada kemanusiaan. Inilah alasan ketiga dari dianjurkannya jamaah haji berkurban di Tanah Air, yakni menangkap dengan bijak pesan-pesan dan tujuan syariah paling mendasar dari diturunkannya perintah berkurban kepada para penganut agama-agama samawi.

Saat ini sejumlah fenomena menunjukkan banyak umat Islam melupakan filosofi dasar berupa penghormatan kepada kemanusiaan dari diturunkannya syariah kepada mereka. Padahal, jika dicermati secara seksama, rukun Islam yang lima mulai dari syahadat, shalat, puasa, zakat sampai haji semuanya memiliki filosofi dasar penghormatan kepada kemanusiaan itu.

Mari kita perhatikan baik-baik, sekali kita bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, itu berarti kita harus siap mengidentifikasi diri kita dengan sifat-sifat Allah. Ada 99 sifat Allah yang kita kenal, namun Allah sejak awal lebih senang memperkenalkan diri-Nya sebagai al-Rahman dan al-Rahim, Sang Pengasih dan Penyayang. Kasih dan sayang adalah tema dan definisi yang sepenuhnya berkaitan dengan kemanusiaan. Itulah sebabnya dalam setiap berbuat baik, kita diminta untuk menyebut bismillahirrahmaanirrahim … Sedang Muhammad SAW yang kita kenal adalah tokoh dunia yang risau melihat dekadensi moral penduduk Makkah. Dari situ ia berinstrospeksi diri dengan menyendiri di Gua Hira, membersihkan diri atau melakukan tazqiyatun-nafs. Dengan wahyu yang diterimanya ia kemudian membersihkan mentalitas keluarga dan kerabatnya alias tazqiyatul-jamaah. Barulah setelah itu ia membersihkan mentalitas masyarakat yang lebih luas dan multikultur di Madinah atau tazqiyatul-ummah. Semua yang dilakukan nabi penuh sopan santun ini adalah berdimensi kemanusiaan. Dialah nabi yang lahir dan dibesarkan dari keluarga miskin, sangat cinta pada anak-anak yatim, marah besar jika masyarakat miskin dinistakan.

Rukun Islam kedua adalah shalat. Ibadah yang satu ini tidak akan bernilai di mata Allah SWT jika ibadahnya itu tidak memiliki dampak sosial yang signifikan. Allah SWT justru menyebut celaka bagi mereka yang shalat, tapi dengan shalat itu mereka hanya ingin pamer dan tidak suka menolong orang lain. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam QS al-Maa’uun (107) ayat 4–7:

فويل للمصلِّين الّذين هم عن صلاتهم ساهون الّذين هُمْ يُراؤُون ويَمْنعون الماعون

‘’Maka, celakalah bagi orang-orang yang shalat; (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalat mereka; orang-orang yang berbuat riya’; dan enggan (menolong dengan) barang berguna.’’

Rukun Islam ketiga adalah puasa. Orang disuruh punya sikap empati kepada mereka yang miskin dan kelaparan lewat ibadah yang satu ini.

Sedang rukun Islam keempat adalah kewajiban membayar zakat. Tidak ada penjelasan lain untuk ibadah yang satu ini kecuali inilah bentuk paling harfiah penghormatan kepada kemanusiaan dari seluruh ibadah kepada Allah SWT yang harus dilakukan umat manusia. Kita disuruh berbagi, bukan malah korupsi; diperintahkan merangkul, bukan justru mengancam; diminta berderma, bukan malah merampok dan merampas!

Rukun Islam terakhir adalah ibadah haji. Lewat ibadah ini, orang disuruh bersilaturahim, lagi-lagi berbagi, dan berinteraksi secara pluralis, multikulturalis dan bersifat internasionalis. Catatan sejarah membuktikan bahwa dari interaksi itulah para aktivis dan pejuang kemerdekaan dari berbagai negara dulu pernah bersama-sama memecahkan masalah global kemanusiaan saat itu, mulai dari kolonialisme, perbudakan, penghisapan satu negara atas negara lain, sampai monopoli perdagangan regional dan internasional.

Kembali kepada ibadah kurban, jika dalam tingkat mikro saja selalu terpatri dalam sanubari seseorang untuk di satu sisi tetap beribadah pada Allah SWT dengan melaksanakan kurban di tanah suci, tapi di sisi lain selalu terpatri juga dalam hatinya untuk peduli pada fakir miskin di Tanah Air yang lebih membutuhkan daging kurban, maka cara pandang beribadah serupa ini pulalah yang akan terpancar darinya saat ia mengambil kebijakan di tingkat makro. Jika menjadi pejabat, ia akan konsisten mendedikasikan jabatannya buat kepentingan orang banyak dengan mengorbankan kepentingan pribadinya di atas kepentingan orang lain. Jika menjadi pengusaha, dia tidak akan menjadi kapitalis yang menghisap, yang melulu berorientasi pada keuntungan pribadi. Pengusaha seperti ini akan dipenuhi oleh semangat pengorbanan buat kemanusiaan dalam menciptakan keuntungan buat dirinya dengan selalu berpikir menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya untuk orang banyak. Begitulah seterusnya setiap komponen bangsa ini mestinya bersikap, entah mereka berprofesi sebagai guru, seniman, militer, polisi, hakim, jaksa, wartawan, pengacara, semuanya berpikir dan berkurban dengan paradigma kemanusiaan yang sama.

Jika semangat dan esensi berkurban seperti inilah yang ditangkap banyak orang, niscaya negeri ini segera keluar dari krisis multidimensional yang melilitnya. Setiap komponen bangsa yang hidup berdampingan di dalamnya tidak saling sikut saling gebuk, tapi justru saling ridla dan berkurban dengan fungsi dan peran masing-masing. Para ilmuwan berkurban dengan keilmuan mereka, pemerintah berdedikasi dengan jabatan mereka, ahli ibadah berperan dengan ibadah mereka, para pengusaha berkarya dengan sikap amanah mereka, sementara para pekerja membangun negeri dengan etos kerja mereka. Inilah potret negeri sejahtera yang digambarkan Muhammad SAW dalam salah satu hadits shahihnya:

الدنيا كالبستان تزينت بخمسة أشياء : علم العلماء، وعدل الأمراء، وعبادة العباد، وأمانة التجار، ونشط المحترفين

‘’Dunia itu ibarat kebun yang selalu berhias diri dengan lima aspek: ilmu para ilmuan, keadilan para pejabat, ibadah para tokoh spiritual, amanat para pengusaha dan kedisiplinan para pekerja.’’

جَعَلَنَا الله ُوَإِيَّاكُمْ مِنَ الْفَائِزِيْنَ الآمِنِيْنَ. وَأَدْخَلَنَا وَإِيّاكُمْ فِي عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.

Konsep Takwa Sebagai Platform Membangun Kebangsaan


Oleh: Drs. Helmi Hidayat, MA

(Khutbah ini disampaikan pada hari raya Iedul Fitri 1429 H/2008 M di hadapan jamaah PDI Perjuangan dan Baitul Muslimin Indonesia di halaman parkir DPP PDI Perjuangan, Jl. Lenteng Agung 99, Jakarta Selatan. Diizinkan untuk mengcopy sebagian atau seluruhnya untuk dijadikan bahan khutbah di mana pun, agar menjadi 'ilmun yuntafau' bihi buat saya.)



Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Saudara-saudaraku, sidang shalat Iedul Fitri yang berbahagia


Sejak fajar menyingsing di pagi hari ini, kita mendengar suara takbir tanda kebesaran Allah SWT bergema di mana-mana. Gema takbir ini menjadi tanda berakhirnya Ramadan, bulan suci yang menjadi kawah Candradimuka bagi umat Islam di seluruh dunia. Untuk menyambut datangnya hari raya Iedul Fitri ini, kita disunatkan shalat dua rakaat berjamaah. Shalat sunat itu baru saja kita laksanakan bersama. Marilah kita memohon semoga shalat yang baru saja kita laksanakan ini bukan saja diterima oleh Allah SWT, tapi juga membawa keberkahan hidup, ketentraman jiwa, dan khutbah yang akan disampaikan pun menjadi obor penerang batin kita yang gelap akibat modernisme yang terus berkembang. Karena itu, penting khatib peringatkan lewat podium ini bahwa mendengar khutbah, baik setelah shalat Idul Fitri maupun Idul Adha, adalah bagian dari rukun shalat Ied. Jangan pulang atau membubarkan diri sebelum khatib menyelesaikan khutbahnya. Menurut syariah yang ada, shalat Ied seseorang tidak sempurna jika ia tidak mendengarkan khutbah Ied sampai selesai.

Mulai hari ini kita menjalani iedul fitri, kembali kepada fitrah kita sebagai manusia normal, setelah sebulan lalu kita tak ubahnya malaikat yang berjalan di muka bumi: kita tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan badan dengan pasangan sah kita di siang hari, padahal semua itu Allah halalkan di 11 bulan di luar Ramadan. Tentu saja Allah punya maksud dan tujuan. Salah satunya adalah agar setiap Mu’min yang menjalani ibadah puasa itu menjadi orang-orang yang bertakwa, yang dengan katakwaan itu seluruh umat manusia – bukan cuma umat Islam yang berpuasa -- jadi lebih sejahtera, aman dan tenteram hidup berdampingan.

Maksud dan tujuan Allah itu bukanlah hal yang utopis dan ideal. Kalaupun kini maksud dan tujuan itu masih jauh dari harapan, masih terkesan ideal, itu karena setiap Mu’min yang menjalankan ibadah puasa belum sepenuhnya menangkap, meresapi, untuk kemudian mengimplementasikan konsep dan makna taqwa secara benar. Padahal, jika konsep dan makna taqwa diresapi dan diimplementasikan secara benar, bukan tidak mungkin kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman umat manusia yang hidup berdampingan dengan segala perbedaannya itu akan terwujud.

Kata taqwa (التَّقْوَى) adalah bahasa Arab. Dalam banyak ayat al-Qur’an, kata ini kerap diperhadapkan secara bertentangan dengan kata zhulm (الظُّلْمُ). Orang yang tidak bertakwa, menurut al-Quran, bisa dipastikan sebagai orang yang zalim. Kamus bahasa Arab, al-Munjid, menerjemahkan kata zhulm sebagai wadh’u al-syai’i fii ghairi mahallihi (وَضْعُ الشَّيْءِ فِي غَيْرِ مَحَلِّهِ) - meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dari sini bisa disimpulkan, orang bertakwa adalah mereka yang selama ini meletakkan sesuatu pada tempatnya, sebaliknya orang yang zalim adalah mereka yang selalu meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Dengan pengertian sederhana ini kita bisa merenung ternyata, baik secara sadar maupun tidak sadar, sering sekali kita melakukan kezaliman demi kezaliman dalam keseharian kita. Sebagai contoh sederhana, lihatlah betapa sering kita melanggar peraturan lampu lalu-lintas. Jika kita telah bersepakat bahwa jika lampu merah menyala kita harus berhenti, maka berhentilah. Jika tetap menerobos lampu merah yang menyala itu, kita telah bersikap zalim karena kita tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya. Jika kita mengelola uang kantor atau uang negara, masukkanlah uang itu ke rekening kantor atau ke rekening negara. Jika kita memasukkan uang itu ke kantong kita, atau ke rekening kita, berarti kita tidak pandai meletakkan sesuatu pada tempatnya alias zalim. Jika Anda ingin membuang sampah, buanglah sampah pada tempatnya; jangan buang ke kali. Jakarta kerap dilanda banjir karena banyak warganya bertindak zalim, tak pandai meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berbondong-bondong membuang sampah ke kali atau saluran air lainnya. Nah, jika kita sudah beristri, ’’datangilah’’ istri kita dengan penuh mesra, mawaddah wa rahmah. Ini adalah ibadah paling gampang sekaligus kenikmatan dari Allah SWT. Jika kita ’’mendatangi’’ istri orang padahal kita sudah punya istri, itu namanya salah tempat. Jika kita gemar ’’mendatangi’’ pelacur jalanan padahal kita sudah punya istri, itu namanya kita perlu belajar lagi meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam bahasa Arab kita disebut zalim, sementara al-Quran mengecam kita dengan sebutan orang-orang yang tidak bertakwa.

Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Saudara-saudaraku, sidang shalat Iedul Fitri yang berbahagia

Di mata Allah SWT, konsep dan makna takwa ini punya implikasi hebat. Terhadap individu-individu yang konsisten menjaga takwanya, Allah berjanji dalam QS Ali Imran (3): 15 – 17 akan menganugerahkan surga-Nya yang luas, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai jernih, di samping istri-istri yang suci serta ridla Tuhan yang tiada batas. Sementara terhadap suatu bangsa yang konsisten dan terorganisasi menjaga takwa mereka, Allah berjanji akan menggelontorkan seluruh keberkahan-Nya kepada bangsa itu dari segala penjuru, tanpa jeda, tanpa henti. Namun, harap diingat, pada ayat yang sama pula Allah mengancam tak segan merampas dan meluluhlantakkan semua yang pernah dibangun anak negeri itu jika mereka tidak bertakwa, tak pandai meletakkan sesuatu pada tempatnya, alias gemar berbuat kezaliman dan dosa. Renungkan baik-baik janji sekaligus ancaman Allah SWT dalam QS al-A’raaf (7): 96 berikut ini:


وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (الأعراف :
96)

''Jikalau sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka kami rampas apa yang selama ini telah mereka bangun akibat perbuatan dosa mereka itu.''

Di hari pertama kita menjalani Iedul Fitri ini, ada baiknya konsep dan makna takwa yang menjadi tujuan Allah mewajibkan kita berpuasa selama Ramadan lalu itu diingatkan kembali, agar dalam 11 bulan ke depan selepas Ramadan, kita tak kehilangan kendali diri, baik sebagai individu-individu maupun secara kolektif sebagai anak bangsa. Cukuplah apa yang menimpa bangsa kita dalam satu dasawarsa terakhir ini – mulai dari krisis ekonomi, krisis politik, krisis moral sampai bencana alam yang seolah tanpa henti menghantam negeri ini -- menjadi cambuk peringatan buat kita bersama, bahwa jangan-jangan sebagai sebuah bangsa, kita memang perlu belajar lagi meletakkan sesuatu pada tempatnya. Jangan-jangan Allah marah pada kita dan karena itu hanya penderitaan demi penderitaan yang Dia kirim kepada bangsa ini dalam satu dasawarsa terakhir.

Karena itu, marilah kita jadikan Iedul Fitri yang kita rayakan setiap tahun, khususnya Iedul Fitri 1429 Hijriah yang kita rayakan tahun ini, sebagai momentum mengevaluasi diri dengan mengingat kembali sejarah Rasulullah SAW, baik sejarah Muhammad sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin bangsa. Lebih dari 14 abad lalu, lelaki agung dari tanah Arab ini telah memberi tauladan kepada dunia bagaimana membentuk individu yang berintegritas tinggi dan membangun bangsa yang beradab, dengan menjaga ketakwaan pribadi dan kolektif secara konsisten dan terorganisasi. Momentum evaluasi diri ini menjadi penting mengingat tahun depan, kita sebagai sebuah bangsa yang besar akan menyelenggarakan pemilihan umum yang di dalamnya segelintir orang bakal dipilih sebagai para wakil rakyat dan pimpinan negara. Jika dalam momen yang singkat dan strategis itu kita salah dalam memilih, lalu segelintir orang yang kadung kita pilih itu justru menjadi para pendosa yang mengkhianati tujuan luhur kita dalam membangun bangsa dan negara, Allah SWT jadi punya alasan lain untuk menjatuhkan vonis-Nya menghancurkan kita selumat-lumatnya sebagai sebuah negara-bangsa. Peringatan ini dengan tegas disampaikan Allah SWT dalam firman-Nya dalam QS Al-Israa’ (17): 16:


وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
(الاسراء : 16)


''Dan jika Kami hendak menghancurkan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada para elit politik negeri itu yang hidup bermewah-mewah (untuk bertakwa kepada Allah), tetapi mereka justru menebarkan dosa dalam negeri itu, maka jatuhlah vonis Kami atas mereka lalu kami hancurkan negeri itu selumat-lumatnya.''

Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Saudara-saudaraku, sidang shalat Iedul Fitri yang berbahagia

Sejarah dunia hingga kini mencatat bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah pribadi yang dapat dipercaya (al-amiin) dan memegang amanat (amanah), baik sebelum maupun sesudah kenabian. Banyak hal bisa dicontoh darinya, baik Muhammad sebagai pribadi, Muhammad sebagai kepala rumah tangga, Muhammad sebagai mitra bisnis, maupun Muhammad sebagai pemimpin tertinggi sebuah negeri baru bernama ‘’al-Madinah al-Munawwarah’’.

Sejarah al-Madinah al-Munawwarah pada periode pertama berdirinya adalah sejarah yang penuh dengan contoh terbaik tentang kepemimpinan seorang kepala negara yang egaliter, tentang berdirinya sebuah entitas negara-bangsa yang berkedaulatan tinggi, tentang warga negara yang taat hukum dan karenanya beperadaban cemerlang (munawwarah), tentang nasionalisme dan patriotisme yang dijaga ketat keutuhannya, juga tentang elit politik (mutrofin) yang saling nasehat-menasehati dengan wong cilik (mustadhafin) seputar pentingnya bertakwa pada Allah sebagai fondasi yang kokoh berdirinya sebuah negara-bangsa. Pendek kata, profil al-Madinah al-Munawwarah saat itu, yang berarti ‘’Peradaban yang Terang Benderang’’, harus kita contoh untuk membangun peradaban gemilang di negeri bernama Republik Indonesia yang tengah mencari bentuknya yang ideal ini.

Mirip Indonesia yang terdiri atas banyak suku, agama, ras dan golongan, al-Madinah al-Munawwarah yang awalnya adalah sebuah distrik kecil bernama Yatsrib ini pun dihuni beragam suku dan penganut agama. Saat Rasulullah Muhammad SAW diminta untuk memimpin negeri ini, di sana telah menetap banyak suku, dengan dua sukunya yang dominan: Aus dan Khadraj. Mereka juga menganut beragam agama, dengan penganut Yahudi dan Nasrani tampil sebagai dua kelompok penganut agama yang secara politik sangat berpengaruh. Di luar semua itu, Nabi SAW pun masih harus menghadapi persoalan sosial yang tak kalah kompleks, berinteraksinya kaum Anshar dan kaum Muhajirun.

Sungguh, ini adalah sebuah eksperimentasi yang berisiko dalam membangun sebuah nasionalisme baru di sebuah negara yang juga baru. Untuk itu, hal pertama yang dilakukan tokoh agung ini selaku pemimpin spiritual sekaligus sosial adalah membuat undang-undang dasar (UUD) yang menjadi pegangan hidup bersama, yang lebih dikenal sebagai Piagam Madinah (kepada para jamaah yang memegang copy khutbah ini bisa melihat lampiran dan mempelajari teks piagam ini di rumah masing-masing). UUD ini, antara lain, memuat perjanjian bersama bahwa mereka yang tinggal di Yatsrib adalah bersaudara, dengan status sosial dan hukum yang setara, meski mereka datang dari latang belakang agama dan suku yang berbeda-beda.

Demi membangun nasionalisme yang kuat, lewat Piagam Madinah itu mereka diminta berjanji untuk senantiasa kompak dan bersatu saling melindungi setiap kali musuh datang menyerang. Tidak nantinya mereka yang tinggal di Yatsrib itu diserang atau diintimidasi hanya karena mereka menganut Yahudi atau Nashrani, atau karena berdarah Aus atau Khadraj. Mereka yang diserang dan dihukum adalah pihak-pihak yang nyata-nyata berkhianat terhadap perjanjian yang mereka sepakati bersama. Berkhianat pada perjanjian berarti mengkhianati nasionalisme yang pertumbuhannya saat itu tengah dirawat dan dijaga.

Karena itu, ketika ada sekelompok Arab Muslim – bukan Yahudi atau Nashrani -- memutuskan meninggalkan Madinah, padahal sebelumnya mereka telah terikat dengan isi perjanjian Piagam Madinah, umat Islam saat itu terpecah dua: pihak pertama berpendapat mereka masih menjadi Muslim yang harus dirangkul, pihak kedua berpendapat mereka adalah kaum munafik yang boleh diperangi. Atas persengketaan ini, Allah SWT mengajari Rasul-Nya untuk bertindak tegas, bahkan mencela umat Islam yang bersikap plin-plan dengan memerintahkan mereka agar menawan dan membunuh semua Arab Muslim yang mengkhianati nasionalisme Madinah itu. Perintah tegas dari Allah SWT itu diabadikan oleh Al-Qur’an dalam Surat An-Nissa (4) ayat 89:


فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا
(النساء : 89)


‘’ ... Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemui mereka, dan jangan kamu rekrut seorang pun di antara mereka (yang tidak nasionalis itu) menjadi pelindung dan jangan (pula) menjadi penolong.’’

Hadirin dan hadirat sidang shalat Iedul Fitri yang dirahmati Allah SWT, mengapa Allah memerintahkan agar diambil tindakan tegas terhadap para pembelot Madinah itu kendati mereka kaum Muslim? Jawabannya singkat: segala bentuk separatisme harus ditumpas. Sekali saja satu gerakan separatisme ditoleransi, besok muncul dua atau tiga gerakan separatisme serupa. Sekali saja dua atau tiga gerakan separatisme didiamkan, besok atau lusa lunturlah nasionalisme yang dengan susah payah tengah dipupuk, dan pada gilirannya bubarlah sebuah negara yang tengah dibangun!


Kisah bibit separatisme di Madinah yang diabadikan oleh al-Quran ini hendaknya menjadi inspirasi dan pelajaran berharga buat para pengelola Republik Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negeri yang besar, yang panjangnya dari Sabang sampai Merauke setara dengan panjang antara London di Inggris sampai Teheran di Iran. Ini adalah negeri yang subur dan kaya sumberdaya alam, yang kelahirannya mengorbankan jutaan nyawa para pahlawan. Karena itu, keutuhan negeri ini harus dijadikan harga mati yang tak dapat ditawar. Separatisme harus ditolak bukan karena kita tamak dan rakus ingin menguasai tanah dan lautan yang luas ini dalam satu genggaman, namun lebih karena disintegrasi suatu negara-bangsa, di mana pun dan kapan pun itu terjadi, selalu saja membuahkan tragedi kemanusiaan yang memilukan: pertumpahan darah sesama anak bangsa, perang saudara berkepanjangan, permusuhan turun-temurun, bahkan dendam kesumat yang harus selalu terbalaskan. Lihat Yugoslavia! Sekali lagi lihatlah Yugoslavia! Bekas negara besar itu kini terbelah menjadi tujuh negara berbasis bangsa: Serbia, Kroasia, Bosnia, Montenegro, Macedonia, Slovenia dan Kosovo. Di sana banyak darah tumpah sejak negara itu terbelah-belah secara mengenaskan, banyak nyawa melayang sejak nasionalisme di antara anak bangsanya luntur, banyak tragedi kemanusiaan yang membuat kita tersedak menyaksikannya sejak persaudaraan atas dasar kebangsaan tak lagi jadi objek pertaruhan.

Tentu kita tidak mau tragedi Yugoslavia menimpa Indonesia. Negeri ini harus terus berdiri kokoh buat kesejahteraan anak-cucu kita. Esok atau lusa mungkin saya menghadap Allah untuk selamanya, bulan depan atau tahun depan mungkin giliran Anda dipanggil Tuhan, Dzat Mahaagung yang kepada-Nya segala sesuatu kembali. Kita semua pasti mati. Tapi, anak-anak kita, cucu-cucu kita, cicit-cicit kita, anak-anak cicit kita, keturunan biologis dan spiritual kita akan terus melanjutkan kehidupan dan jejak langkah kita di negeri ini dari generasi ke generasi, entah sampai 1000 – 2000 tahun ke depan, atau 2000 – 10.000 tahun ke depan.

Hadirin dan hadirat sekalian, merekalah yang akan mendoakan kita jika kita wafat nanti. Jika cikal bakal anak-anak negeri ini hidup dalam kondisi perang, jangankan doa buat kita yang segera wafat ini bisa mereka lakukan, bahkan menghadapi hidup buat diri sendiri pun berat mereka jalankan. Ya Allah, selamatkan negeri besar ini dari bencana perpecahan, jauhkan para anak bangsanya dari perang saudara yang menyengsarakan, sesungguhnya Engkau adalah Tuhan yang Rahman, Tuhan yang penuh kasih-sayang ....

Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Saudara-saudaraku, sidang shalat Iedul Fitri yang berbahagia

Mari kita kembali kepada sejarah Rasulullah SAW untuk kita pelajari kisah baiknya demi membangun platform kebangsaan kita di masa depan. Penting dicatat bahwa dalam Piagam Madinah yang monumental dan historis itu, tak satu pun kata ‘’Islam’’ termuat di dalamnya. Namun demikian, beragam penelitian sejarah membuktikan bahwa kendati kata ‘’Islam’’ tidak termuat dalam piagam itu, tapi nilai-nalai Islami bersemai dan hidup subur dalam berbagai interaksi sosial di negeri baru itu. Lewat eksistensi piagam bersejarah inilah kita bisa melihat bagaimana sebuah peradaban baru telah dibangun, di mana mereka yang mayoritas melindungi minoritas, mereka yang minoritas menghormati mayoritas, semua saling bahu-membahu membina nasionalisme dan membangun negeri baru bernama Yatsrib. Saat itu, Islam benar-benar tampil sebagai agama yang menyelamatkan kelompok lain, bukan justru mencederai kelompok lain.

Agar nasionalisme yang baru tumbuh di Madinah itu tak tercederai, Rasulullah SAW selalu tampil sebagai pemimpin yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Tanpa supremasi hukum dijunjung tinggi, mustahil trust dari warga negara terhadap aparatur penyelenggara negara akan tumbuh. Karena itu, sejak awal di Madinah egalitarianisme disuburkan. Hukum ditampilkan sebagai panglima tertinggi. Antara pemimpin dan yang dipimpin punya hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Sebagai panglima, hukum di Madinah tidak membedakan ras atau golongan, suku atau agama. Semua anak bangsa diperlakukan sama dan sederajat. Ada tiga contoh menarik yang perlu dikemukakan dalam khutbah yang terbatas ini. Contoh pertama hukum dengan tegas diterapkan atas Thu’mah, contoh kedua hukum diterapkan atas Aisayh RA isteri Rasulullah SAW, dan contoh ketiga hukum ditegakkan atas diri Nabi Muhammad SAW sendiri.

Contoh pertama berkisah tentang Thu’mah. Lelaki ini adalah keturunan Arab dan beragama Islam. Ketika dipergoki mencuri, dia membuat alibi dengan membuang barang curiannya itu ke rumah seorang Yahudi. Kerabat Thu’mah kemudian meminta perlindungan kepada Rasulullah SAW dengan harapan Nabi yang agung itu bersikap sektarian atas dasar kesamaan ras dan agama. Sebagai manusia biasa, Muhammad SAW hampir saja hanyut oleh hasutan keluarga Thu’mah dan nyaris menghukum penganut Yahudi tak berdosa itu, kalau saja Allah SWT tidak memerintahkan utusan-Nya itu bersikap adil kepada siapa pun, tanpa memandang ras maupun agama. Thu’mah kemudian dihukum, dan si Yahudi itu tidak nantinya dipenjara hanya karena dia menganut agama Yahudi. Kisah monumental ini, di mana Allah SWT memerintahkan utusan-Nya itu bersikap adil dalam menegakkan hukum kepada siapa pun, diabadikan dalam QS An-Nisa (4) ayat 105:


إِنَّا أَنزلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
(النساء : 105)


‘’Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat.’’


Jamaah shalat Iedul Fitri yang dirahmati Allah, demikianlah mestinya kita memilih pemimpin, pejabat negara, dan para wakil rakyat di masa depan untuk Indonesia yang multikultur mirip Madinah di zaman Nabi SAW. Seperti Rasulullah SAW yang tidak menjadi pemimpin untuk umat Islam atau kelompok Muhajirun saja, tapi juga menjadi pemimpin buat Yahudi, Nashrani dan kaum Anshar, seorang pemimpin di Indonesia pun tidak boleh hanya menjadi presiden untuk masyarakat Jawa atau Sumatera saja, atau menjadi presiden untuk umat Islam dan Nashrani saja, atau lebih parah lagi menjadi presiden untuk satu golongan dan satu organisasi saja. Dia harus menjadi kepala negara untuk semua dan bersikap adil juga untuk semua. Tanpa keadilan dan kepastian hukum seperti ini, tak mungkin nasionalisme terbangun, mustahil patriotisme tumbuh subur.

Contoh kedua hukum diterapkan atas Aisyah RA, isteri baginda Rasulullah SAW. Pada bulan Sya’ban tahun 5 Hijriah, pernah timbul gosip dan desas-desus yang tidak mengenakkan antara istirinya, Aisyah RA, dengan sahabat Nabi sendiri, Shafwan bin Mu’aththal. Agar desas-desus ini tidak berlarut-larut mengguncangkan umat Islam saat itu, Rasulullah SAW lalu tidak segan-segan membentuk tim pencari fakta untuk menginvestigasi kebenaran gosip itu, kendati gosip ini melibatkan istrinya sendiri, Aisyah RA [lihat QS an-Nuur (24): 11 – 20].

Contoh ketiga adalah hukum diterapkan atas Rasulullah SAW sendiri. Jika selama ini di Indonesia para pejabat negara tampaknya kebal hukum, Rasulullah SAW sebagai pemimpin tertinggi Madinah dan juga Makkah justru tampil egaliter. Saat menyampaikan khutbah perpisahan atau dikenal sebagai khutbatul-wada’, Nabi SAW meminta hukum ditegakkan atas dirinya sendiri. Jika ada kesalahan yang dia lakukan selama dia menjadi pemimpin, baik disengaja maupun tidak, Rasulullah SAW saat itu meminta dengan serius agar hukum qishash diberlakukan atasnya, agar di akhirat nanti ia terbebas dari dosa terhadap sesama manusia dan tak ada alasan bagi seorang anak manusia pun untuk menggugatnya di hadapan Tuhan Sang Penegak Keadilan yang Mahaadil. Demikianlah Rasul yang agung itu meninggalkan contoh yang baik buat pemimpin negara di mana pun mereka berkuasa saat ini, atau untuk siapa pun yang nanti berkuasa di masa depan.

Sidang Iedul Fitri yang dirahmati Allah SWT, demikianlah khutbah singkat ini disampaikan, semoga dengan memahami konsep takwa secara benar, kita menjadi hamba-hamba Allah yang taat dan selalu ingin menebar kesalehan sosial. Semoga kisah-kisah dan keteladanan Rasulullah SAW saat membangun Yatsrib sebagai negara baru dengan melakukan eksperimentasi yang memukau tentang multikulturalisme di laboratorium sosial-politik-budaya-ekonomi bernama al-Madinah al-Munawwarah membuat kita lebih bersemangat lagi membangun persaudaraan di antara sesama warga bangsa. Perbedaan apa pun yang terjadi saat kita bahu-membahu membangun Indonesia Raya yang berjaya ini hendaknya dapat kita selesaikan dalam semangat dan koridor persaudaraan Islam, persaudaraan kebangsaan, dan persaudaraan kemanusiaan dalam bingkai dan platform Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga.

جَعَلَنَا الله ُوَإِيَّاكُمْ مِنَ الْفَائِزِيْنَ الآمِنِيْنَ. وَأَدْخَلَنَا وَإِيّاكُمْ فِي عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.

Islam dan Alienasi Masyarakat Modern



Oleh: Drs. Helmi Hidayat, MA


(Tulisan ini dicuplik dari buku Pemikiran Islam Kebangsaan terbitan Baitul Muslimin Press yang saya edit.)


Gemuruh mesin-mesin industri abad 17 di Eropa Barat pernah melahirkan Karl Marx yang gelisah. Filsuf Barat yang hidup antara 1818 – 1883 ini risau melihat kaum buruh di sana hanya menjadi korban era revolusi industri. Bukan cuma tenaga mereka yang dibayar murah oleh para pemilik modal yang serakah, tapi bahkan sisi kemanusiaan mereka pun terenggut. Para buruh itu, yang semula adalah petani dan karenanya punya banyak waktu bercengkerama dengan keluarga di rumah, saat itu harus tenggelam seharian di pabrik-pabrik dengan gaji yang kurang memadai. Modernisasi dengan mesin-mesin industrinya yang mewah dalam sekejap telah menggeser mereka dari gattung (makhluk alamiah) menjadi mesin-mesin pekerja yang terpinggirkan.

Marx berpendapat masyarakat seperti ini harus dibela. Ia menginginkan sebuah revolusi terjadi dan melahirkan sosialisme, agar tidak ada lagi kelas kapitalis yang memeras di satu sisi dan kelas proletar yang diperas di sisi lain. Intinya ia menginginkan kaum buruh itu tersadarkan dari posisi mereka sekarang. Namun sayang, demi mencapai obsesinya yang luhur itu, ia antara lain menyarankan agar masyarakat menjauhi agama. Agama di mata Marx hanya menjadi candu buat masyarakat. Para pemuka agama, kata dia, hanya mengajarkan sikap-sikap apatis, pasrah pada nasib, dan karena itu bertentangan dengan gagasan perlawanan dan revolusi sosial yang ia gembor-gemborkan.

Pikiran Marx tentang betapa masyarakat abad 17 sesungguhnya tercerabut dari gattung, teralienasi akibat industrialisasi yang mereka ciptakan sendiri, menginspirasikan Friedrich Nietzsche (1844 – 1900) untuk menulis banyak buku tentang eksistensialisme. Inti ajaran Nietzsche adalah bahwa setiap manusia harus selalu menyadari bahwa dia adalah makhluk super dan bereksistensi tinggi dan mulia. Karena itu manusia tidak boleh ditundukkan oleh modernisasi, industrialisasi, atau kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya, termasuk oleh konsepsi tentang keberadaan Tuhan di kepalanya sendiri sekalipun. Jika Marx menyatakan agama adalah candu masyarakat demi mengembalikan eksistensi manusia ke posisi gattung, Nietzsche bertindak lebih jauh: Dia mengumumkan kematian Tuhan!

Demikianlah, setelah itu para pemikir besar seolah berlomba-lomba menulis buku tentang terjadinya alienasi masyarakat modern vis a vis modernisasi yang mereka ciptakan sendiri. Albert Camus, misalnya, menyebut masyarakat modern yang teralienasi itu sebagai orang asing (the stranger) yang melata di muka bumi, sementara Jean Paul Sartre mengarang buku tentang betapa masyarakat modern sesungguhnya terus-menerus dalam kondisi cemas menghadapi kehidupan yang ganas saat ini.

Kesimpulan Marx, Nietzsche, Camus, Sartre dan banyak pemikir sejenis tentang terjadinya alienasi di tengah masyarakat modern bisa jadi benar, bahkan terus berlanjut hingga kini. Gedung-gedung tinggi pencakar langit, pabrik-pabrik bermesin raksasa, pasar-pasar penuh persaingan dan polusi, semuanya mengepung dan menggiring masyarakat kota-kota besar itu untuk menjadi bagian dari mesin-mesin industrialisasi dan modernisasi. Di kantor pun, sepanjang hari mereka ‘’dipenjara’’ di ruang-ruang ber-AC penuh meja, komputer dan alat-alat kantor, sementara mesin absensi tidak lagi mengenal jatidiri mereka yang asli kecuali sebagai angka-angka dan simbol-simbol mesin pekerja. Mereka benar-benar dikontrol secara ketat oleh sistem kerja kapitalistis. Kasus seorang wanita muda di Jakarta, misalnya, yang pada pertengahan September 2007 lalu tewas meloncat dari sebuah apartemen tinggi sambil menggendong anaknya yang baru berusia dua tahun, adalah gambaran betapa alienasi diri itu bisa menerpa siapa saja dengan dampak yang sangat hebat. Orang selama ini mengidentikkan bunuh diri dengan kenekatan orang-orang miskin yang lelah hidup dengan penderitaan mereka. Tapi, dalam kasus ibu beranak satu yang nekat bunuh diri itu, bukankah ia tinggal di apartemen mewah simbol keberhasilan material?

Namun demikian, benarkah sebagai solusi dari keterasingan diri itu orang justru harus menjauh dari agama seperti kata Marx, membunuh Tuhan seperti kata Nietzche, merasa asing di tengah keramaian seperti kata Camus, atau bahkan terus-menerus cemas menghadapi kenyataan seperti kata Sartre? Jawabnya tentu tidak. Saat ini orang ramai membicarakan bahwa dalam diri seorang anak manusia ternyata tidak hanya terdapat intelligent quotient (IQ), tapi juga emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient (SQ). IQ adalah alat dan sarana seseorang untuk mengenal lingkungan faktual di sekitarnya, sementara dengan SQ seseorang dapat mengetahui bukan cuma alam nyata di sekitarnya, tapi juga hal-hal gaib di luar dirinya. Fakta bahwa manusia bukan hanya menyadari masa kininya, tapi juga menyadari masa lalu (gaib) dan merencanakan masa depannya (juga gaib) adalah bukti bahwa manusia tidak hanya bergantung pada IQ, tapi juga pada EQ dan SQ.

Dari sini kita bisa melacak mengapa Marx, Nietzche, Camus, Sartre dan banyak pemikir sejenis lainnya gagal memberikan solusi atas alienasi diri yang melanda masyarakat modern. Mereka ternyata hanya bergantung pada IQ ketika mencari solusi itu. Padahal, hanya bergantung pada akal saja orang akan gagal mencari solusi hidup. Ada substansi lain dalam diri manusia yang harus disentuh dan diasah selain akal, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut qalb. Inilah substansi yang diberikan Allah kepada manusia, yang dengan itu manusia bisa mengenal hal-hal gaib di luar diri mereka. Jika manusia tidak mengasah substansi ini, Allah SWT bakal menurunkan derajat mereka ke martabat yang lebih hina dari binatang, sementara di akhirat mereka bakal dijebloskan ke neraka Jahanam. Firman Allah SWT dalam QS Al-A’raaf: 178: ‘’Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka punya qalb tapi tidak menggunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), punya mata tidak menggunakannya untuk melihat (ayat-ayat Allah), punya telinga tidak menggunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti binatang, bahkan lebih hina lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.’’

Allah SWT bukan tanpa desain yang sempurna ketika menurunkan kitab suci Al-Qur’an di zaman modern. Kitab suci yang diperuntukkan untuk zaman ini haruslah berisi ajaran yang elastis, dinamis, kompatibel untuk segala zaman dan ruang. Untuk menjawab kegalauan Marx atas eksploitasi para kapitalis atas kaum buruh, Al-Qur’an sejak awal menyatakan dirinya sebagai kita suci yang tak ada keraguan terhadapnya dan menjadi petunjuk buat orang-orang bertakwa, yakni mereka yang beriman dan mengasah qalb mereka untuk memercayai yang gaib, mendirikan shalat dan memberi nafkah dari rejeki yang diberikan Allah SWT kepada mereka. Inilah yang ditegaskan Allah SWT dalam QS Al-Baqarah: 1 – 2, ‘’Kitab itu tidak ada keraguan terhadapnya, menjadi petunjuk bagi mereka yang bertakwa; yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.’’

Konsep memberi nafkah jelas tidak ada dalam kamus para kapitalis yang cenderung serakah dan eksploitatif, yang karena itu Marx menjadi galau. Padahal, al-Qur’an justeru menyuruh kita mengambil zakat dari para pemilik modal. Jika hal itu dilakukan, Allah SWT bukan hanya berjanji akan membersihkan jiwa si pemilik modal itu dari sifat-sifat kikir dan kerat-kerat dosa yang sangat mungkin tersangkut ketika mereka berbisnis, tapi juga akan mencerahkan jiwa mereka yang karena itu mereka cenderung menghindari kerakusan dan eksploitasi. Inilah janji Allah SWT itu, yang diabadikan dalam QS: At-Taubah: 103: ‘’Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka …’’

Jika Marx masih hidup, mungkin dia akan tersenyum melihat teorinya tentang eksploitasi kaum kapitalis mendapatkan pembenarannya ketika gerakan reformasi meletus di Indonesia pada 1998. Saat itu banyak masyarakat merampas barang dagangan supermarket atau menjarah barang pabrik dan perusahaan besar tertentu. Ini terjadi karena masyarakat merasa selama ini supermarket mewah dan pabrik-pabrik raksasa itu hanya memamerkan kemewahan, menimbulkan kecemburuan sosial, menghisap pengusaha kecil, dan cenderung eksploitatif. Namun, tindakan Barbaristik itu tidak akan terjadi, atau setidaknya bisa diturunkan tingkat keparahannya, jika saja konsep corporate social responsibility (CSR) yang sudah banyak dilakukan perusahaan-perusahaan di Eropa sejak dekade 1980-an juga dilakukan di Indonesia secara massif. Dengan melaksanakan CSR berikut program-programnya yang merangkul dan menguntungkan masyarakat sekitar, sebuah supermarket atau pabrik sesungguhnya tengah membangun pagar hidup di sekitar mereka. Pagar-pagar hidup inilah yang akan membela mati-matian dan menjaga pabrik-pabrik itu dari penjarahan. Masyarakat penikmat CSR itu sadar, jika pabrik itu terganggu atau bangkrut, mereka tak lagi bisa menikmati buah-buah CSR. Marx harus tahu, konsep CSR yang kin banyak diterapkan di Indoensia adalah setali tiga uang dengan konsep zakat yang diperintahkan Al-Qur’an sejak 14 abad lalu.

Sementara untuk menjawab kebuntuan Nietzche hingga ia harus menafikan eksistensi Tuhan, jawaban bagus pernah diberikan oleh Abbas Mahmud Al-Aqqad, pemikir asal Mesir. Menurut dia, jika seseorang menafikan keberadaan Allah, alih-alih menjadi superman, orang itu justru tenggelam dalam nihilisme. Al-Aqqad menganalogikan orang yang membunuh konsepsi tentang Tuhan dari kepalanya sendiri ibarat seseorang yang berdiri di padang pasir yang luas membawa lampu senter. Jika tak ada satu benda pun berdiri tegak di depan orang itu yang dapat memantulkan cahaya lampu senter tadi ke matanya, cahaya lampu senter tak akan pernah terlihat alias nihil.Orang itu akan selamanya berada dalam kegelapan padang pasir. Demikianlah jika Allah tak ada, maka seluruh amal baik kita di dunia ini menjadi nihil, tak ada yang mencatat dan memberi reward. Seluruh amal perbuatannya bak fatamorgana, seperti ditegaskan Allah SWT dalam QS An-Nur: 39, ‘’Orang-orang yang kafir amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar …..’’

Nabi Muhammad SAW memang pernah mengibaratkan orang hidup di dunia ini laksana seorang musafir. Tapi, jelas musafir yang dimaksud bukanlah orang asing (the stranger) kehilangan arah lalu dilanda frustrasi seperti yang dilukiskan Albert Camus. Layaknya musafir, kata Nabi, hendaknya setiap orang mengumpulkan harta di dunia ini hanya untuk bepergian sementara, bukan untuk tinggal selamanya. Manusia harus selalu ingat mereka bakal mati dan seluruh perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti. Dengan percaya pada kehidupan setelah kematian, percaya pada yang ghaib, seorang musafir niscaya akan selalu optimistis memandang kehidupan di dunia ini. Si musafir selalu yakin, Dia yang Ghaib dan bersemayam di Arsy sana selalu membimbingnya menuju jalan lurus selama dia menjalani kehidupan sementara di muka bumi ini. Ini karena siang dan malam, pagi dan sore, si musafir tak pernah lupa dalam shalat-shalatnya selalu berdoa: ‘’Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan yang Kauanugerahkan kepada mereka yang Kauberi nikmat, bukan jalan yang Kaumurkai dan Kausesatkan.’’ (QS Al-Fatihah: 4-6)

Sedangkan untuk mengeleminasi kecemasan menghadapi industrialisasi, modernisasi dan kini globalisasi seperti yang dirisaukan Sartre, Al-Qur’an mengajak kita mengasah SQ kita, memberdayakan qalb kita, dengan banyak berzikir pada Allah SWT. ‘’Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allahlah hati menjadi tenteram.’’ (QS Ar-Ra’d: 28).

Dengan kerja keras sebagai musafir yang terus berzikir dan membekali diri, dengan terus berbagi kepada wong cilik seperti yang dikonsepkan dalam zakat, dengan terus percaya pada peran Yang Mahaghaib yang senantiasa membimbing jalan hidup setiap musafir, kita harus yakin tak akan teralienasi oleh gemuruh industrialisasi seperti yang dikhawatirkan Marx, Camus, Nietzche atau Sartre. Alih-alih tergulung oleh derasnya industrialisasi dan modernisasi, dengan berpegang pada ajaran Al-Qur’an dan iman yang kuat kepada-Nya, kita justeru menguasai industrialisasi dan modernisasi itu, menuju Indonesia Raya yang gemah ripah loh jinawi. Semoga.