Laman

Rabu, 10 Maret 2010

Inklusivisme: Alternatif buat Kaum Muslim di Barat

Oleh: Helmi Hidayat

Artikel ini disampaikan dalam acara bedah buku Pergulatan Muslim di Barat: Antara Identitas dan Integrasi, oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, di Museum Bayt al-Qur’an, TMII, Selasa (2/3/10).


Bukan tanpa alasan yang sangat rasional jika Adam LeBor, dalam bukunya A Heart Turned East: Among the Muslims of Europe and America, memulai bab pertama bukunya itu dengan bercerita tentang perang saudara di tanah Bosnia-Herzegovina. Dari kawasan yang di atasnya Kerajaan Usmani pernah Berjaya ini, LeBor bukan saja bebas bercerita seputar visi, mimpi, sekaligus tindakan Karadzic yang fasis dan Barbarian, tapi juga kisah detil tentang kematian tragis Senad Sacirovic, Mirijana Milanovic, Branko Pletikosa, dan Leo Sternberg. Keempatnya cuma korban perang biasa saja kecuali bahwa mereka punya empat keyakinan berbeda – Islam, Kristen, Yahudi, dan ateis. Di masa damai, mereka seharusnya dimakamkan secara terpisah sesuai keyakinan masing-masing Tapi, karena kompleks pemakaman Yahudi berdekatan dengan pangkalan penembak gelap, dengan terpaksa jasad Leo Sternberg yang beragama Yahudi dimakamkan di kompleks pemakaman kaum ateis!

Sesungguhnya bukan cerita tentang proses pemakaman empat korban perang itu yang hendak ditonjolkan LeBor dalam buku terbitan Mizan dengan judul Pergulatan Muslim di Barat: Antara Identitas dan Integrasi (2009) itu. Lewat laporan jurnalistiknya yang memukau, wartawan Inggris berdarah Yahudi ini sejatinya hendak menitipkan pesan mendalam pada setiap pembaca bukunya bahwa kekerasan, apa pun bentuk dan di mana pun itu terjadi, selalu saja menimbulkan kerusakan di muka bumi dan tidak pernah memilah-milah korbannya hanya karena dia Muslim atau Yahudi. Wartawan yang kini menetap di Budapest ini dengan cermat menggambarkan di setiap bab bukunya itu betapa akar kekerasan adalah eksklusivitas, yang darinya lahir segala bentuk egoisme, intoleransi, prasangka, marginalisasi, dan pada gilirannya juga fanatisme dan radikalisme yang sangat mungkin berlumuran darah.

Dengan demikian, jika ingin disimpulkan lebih awal, dari seluruh tulisannya dalam buku ini LeBor sesungguhnya ingin berpesan pendek bahwa jika umat Islam ingin survive menetap di Barat, ada satu hal yang harus mereka lakukan dinihari sebelum Matahari terbit: mereka harus menyubur-nyuburkan inklusivitas di tengah geliat peradaban yang baru mereka masuki, yang dari situ akan lahir segala bentuk toleransi, moderasi, dan pada gilirannya juga akulturasi yang produktif dan menyejahterakan. Hanya dengan begitu umat Islam bisa dengan sentosa menetap di Eropa atau Amerika Serikat (AS). Dengan mengembangkan inklusivitas, di satu sisi dari dulu terbukti Islam berabad-abad menguasai Barat dan penduduk lokalnya merasa tenteram di bawah panji-panji Islam, sementara di sisi lain umat Muslim sendiri tidak tercerabut dari identitas dan akar Islam mereka yang paling fundamental: sikap bertauhid pada Allah SWT.

Demi menegaskan bahwa pesan yang hendak ia sampaikan itu benar dan teruji, LeBor bercerita bahwa perang di Bosnia-Herzegovina itu sesungguhnya bukan perang agama, tapi lebih merupakan buah pahit dari kesintingan dan fasisme yang diidap para elit politik dalam negeri plus konspirasi elite politik internasional. Hanya saja memang, korban perang gila ini kemudian adalah rakyat kecil yang mayoritas menyandang nama berbau kearab-araban plus rajin mencopot sepatu sebelum masuk rumah (khas umat Islam), padahal selebihnya mereka tak jauh berbeda dengan masyarakat Eropa pada umumnya: gemar minum slivovitz (brendi keras terbuat dari plum) dan doyan makan babi. ’’Muslim Bosnia sangat sekuler,’’ ungkap LeBor di halaman 38, ’’sedangkan yang religius di antara mereka menekankan bahwa mereka adalah ’’Muslim Eropa’’, sesuatu yang agak berbeda dengan para Ayatollah Iran dan ulama-ulama Islam ArabSaudi. Semua berbangga dengan warisan multi-etnis mereka dan tradisi kerukunan hidup dengan Kristen Ortodoks dan Katolik maupun Yudaisme.’’

Di halaman berikutnya jelas terlihat nada keheranan sekaligus kemarahan penulis buku City of Oranges ini saat mengungkapkan data Lembaga Statistik pemerintahan Bosnia. Data itu mengindikasikan tingginya tradisi kosmopolitan Sarajevo, Ibukota Bosnia-Herzegovina. Menurut data itu, sampai pecahnya perang, tingkat perkawinan campuran di sana menempati posisi tertinggi untuk seluruh negara (34,1 persen), sementara banyak penduduk kota itu lebih suka mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Yugoslav ketimbang Serbia, Muslim, atau Kroasia.

Dengan bercerita seperti ini, sekali lagi LeBor hendak mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan inklusivisme, di mana pun inklusivisme itu tumbuh. Inklusivisme inilah yang sejatinya berabad-abad mempertahankan keutuhan mosaik multi-etnis masyarakat di sepanjang pantai Laut Adriatik itu sejak Kerajaan Usmani bertengger sampai negara modern bentukan Tito kemudian berdiri. Karena itu mudah ditebak mengapa pagi-pagi sekali, dalam bab pendahuluan A Heart Turned East ini, LeBor secara terselubung sudah menyampaikan pesan berharganya itu dengan meminjam mulut Dr. Dalil Boubakeur, rektor Masjid Paris. Kata Boubakeur seperti dikutip LeBor di halaman 18:

Alternatif, berupa prasangka dan marginalisasi tanpa henti, hanya akan membiakkan masyarakat Islam kelas bawah yang marah yang akan beralih secara cepat menjadi Islamis radikal, konfrontatif, dan mengutubkan lebih jauh lagi perpecahan antara Islam dan Barat dan negara-negara tuan rumah mereka. Jauh lebih baik, karenanya, untuk membiarkan umat Islam di Barat memperkenalkan sebuah pendekatan baru – atau malah yang lebih lama – yang didasarkan pada nilai-nilai spiritual, daripada yang material.


Selebihnya dalam buku ini kemudian bisa ditebak. LeBor menggunakan metode yang sama dalam menulis bab demi bab dalam bukunya itu: Dia menggunakan pendekatan etnografis dalam mengumpulkan fakta, lalu menuliskannya kembali secara naratif dan karenanya terlihat detil dan memukau, sambil di tengah-tengah cerita yang mengalir itu dia sisipkan sublimated messages tentang pentingnya tradisi inklusif yang harus dijaga dan diterapkan umat Islam di dunia Barat yang demokratis dan terbuka jika mereka ingin survive tinggal di sana.

Sebagai contoh, jangan dikira di tengah keasyikan kita membaca narasi dalam bab ketiga Warisan Islam Eropa yang Dilupakan, khususnya kisah tentang Islam di Albania, LeBor tidak menyisipkan pesan, lebih tepatnya peringatan, bahwa kedamaian Muslim inklusif di Albania tiba-tiba terganggu dan dicekam ketakutan hanya karena di era 1990an mereka mulai digempur semangat eksklusifisme para pengkhutbah agama-agama yang berlomba-lomba menerebos Albania (hal. 122 – 123). Lihatlah bagaimana LeBor bercerita tentang Muslim Albania di semenanjung Balkan yang sejak lama mengakar kepada tradisi Kerajaan Usmani ketimbang Iran modern. Di bawah kekuasaan Konstantinopel, Albania selama berabad-abad menikmati suburnya aliran-aliran agama, kebebasan berpendapat dalam masalah fiqh, bahkan menjadi pusat sufisme dan mistisisme Islam. Salah satu tarekat yang tumbuh besar dan disegani masyarakat Muslim setempat adalah Tarekat Bektashi, yang menggabunngkan banyak tradisi pra-Islam di Asia Tengah dalam ritual-ritual mereka. Menekankan spiritualitas mereka yang mudah dan jauh dari formalisme Arab, tarekat ini memainkan peran penting dalam menyebarkan Islam di semenanjung Balkan sejak Kerajaan Usmani berkuasa. Tarekat ini lebih mementingkan persatuan ruhani dengan Allah melalui doa dan meditasi ketimbang pentingnya ritual Islam ortodoks: perempuan dibolehkan tidak berjilbab memasuki tempat ibadah, memiliki hak yang sama dibanding laki-laki, dan ’’sebuah pertemuan Bektashi bisa mencakup acara makan di mana domba akan disembelih dan dicuci dengan wine – terlarang untuk umat Islam – sebelum memulai diskusi agama.’’

Namun, tulis LeBor dengan nada sedih, semangat ekslusifisme pihak luar mulai menggerogoti kedamaian di sana. Ini dia ungkapkan dengan paragraf yang sangat indah:

Tetapi sekarang, banyak Muslim Albania takut tradisi toleransi negara mereka terancam oleh misionaris asing. Guru keliling Bahal, Evangelis Kristen, utusan-utusan Muslim dasri negara-negara Teluk, Mormon, Saksi Yehova, wakil-wakil dari hampir setiap imam, besar dan kecil (kecuali Yudaisme, yang tidak percaya pada penyebaran agama), semuanya mengalir masuk Albania. Bagi mereka, negara ini sekarang menjadi supermarket jiwa, di mana populasi yang masih polos dan belum maju yang tertutup dari dunia selebihnya selama hampir lima puluh tahun menawarkan pemetikan ruhani yang mudah.


Mengapa LeBor menjadi tampak begitu bersemangat menawarkan inklusivisme kepada umat Islam di Barat agar mereka bisa survive?

Jawaban atas pertanyaan ini bisa dilacak jauh ke belakang, melampaui batas-batas privasi dan primordialisme LeBor sendiri sebagai penganut Yahudi tulen. Di bab empat bukunya, London: Beirut di Thames, lelaki yang mempelajari Islam di Leeds University, UK, ini diam-diam sejak remaja sangat mengagumi khilafah Islam yang berkuasa di Eropa sebelum Abad Pertengahan. Di North-West London Jewish Day School dan Jewish Free School di Camden, London, LeBor dan kawan-kawannya sesama penganut Yahudi diajari oleh guru mereka bahwa justru di bawah kekuasaan Islamlah zaman keemasan Yahudi Spanyol berkibar. Saat itu budaya, kehidupan keagamaan, filsafat, dan ilmu pengetahuan berkembang subur di Spanyol. Namun, di sekolah itu pula remaja-remaja belia ini dicekoki doktrin tentang Auschwitz di Jerman, lengkap dengan kisah Holocaust di dalamnya. Hampir setiap usai menonton film tentang Holocaust yang itu-itu juga, para siswa itu menyanyikan lagu kebangsaan Israel (hal. 136).

Tapi, mengapa harus lagu Israel, kata LeBor, berontak. Pengarang Hitler’s Secret Bankers ini sejak remaja tidak percaya bagaimana mungkin dia lahir di Inggris, berkewarganegaraan Inggris, tapi harus menyanyikan lagu kebangsaan Israel di Inggris hanya karena dia, orangtua serta buyutnya beragama Yahudi?

Dari sini LeBor jadi sadar bahwa jauh ribuan tahun lalu, antara Muslim dan Yahudi sesungguhnya nyaris tak berjarak, baik secara sosiologis terutama teologis. Secara sosiologis, di banyak negara-negara Timur Tengah, kaum Yahudi dan Arab tinggal berdampingan selama berabad-abad dengan rukun. Bahkan kaum Yahudi di Inggris dan negara-nagara Eropa lebih senang berbicara bahasa Arab ketimbang Inggris. Sementara secara teologis, umat Islam di negara mana pun dia temui bukan saja selalu mengakui nabi-nabi besar Israel, mulai dari Ibrahim, Daud, Musa, sampai Isa, tapi yang paling penting adalah adanya persamaan nilai-nilai tauhid yang sampai sekarang dijunjung tinggi di antara penganut kedua agama samawi ini. Kata LeBor di halaman 134:

Baik Islam maupun Yudaisme bersifat monoteistik dan mengakui keesaan Allah, diungkapkan sebagai tauhid dalam bahasa Arab (yang mengambil akar dari kata ahada), dan penegasan berulang tentang ketunggalan Allah dalam doa-doa bahasa Ibrani. Konsep Trinitas, atau berdoa kepada seorang individu, bahkan ketuhanan dalam dalam bentuk manusia seperti yang diyakini orang Kristen tentang Yesus, dicela dalam keduanya.


Sementara ketika melukiskan sejarah kejatuhan Islam di Hongaria, LeBor sempat menyatakan kesedihannya ketika bercerita tentang diubahnya masjid-masjid di sana menjadi gereja – karena itu berarti diubahnya tempat orang melakukan tauhid kepada Allah SWT menjadi sarana orang melakukan kemusyrikan. Dengarlah ketika ia meratap di halaman 98:

Sayangnya, meski tetap mempertahankan interior Islam, termasuk kaligrafi Arab, bangunan itu telah berubah menjadi sebuah gereja Katolik, dan hibrida mutan yang dihasilkan merupakan upaya yang mengganggu dan melecehkan untuk mengalihkan sbuah bangunan yang dirancang untuk menyembah Allah pada pemujaan Yesus dan Maria.


Demikian dekatnya LeBor merasakan hubungan antara Yahudi dengan Islam, sampai-sampai ketika di bulan Agustus 1982, ketika ia kali pertama mendengar adzan di Kairo, Mesir, hatinya bergetar (hal. 140). ’’Sesuatu dalam diri saya tergetar dan terjaga ketika saya mendengarnya, sebuah kenangan leluhur yang kuno. Membentang sepanjang ribuan tahun, ke suatu masa di padang pasir dan pengasingan, tentang mukjizat dan para bapa pendiri, dan Tuhan yang dahsyat yang menggembalakan umatnya yang kesulitan keluar dari Mesir melintasi Gurun Sinai menuju Israel.’’

Pengungkapan panjang lebar tentang sikap monoteistik LeBor, dan sangat mungkin juga banyak penganut Yahudi lainnya di tanah Barat, menjadi penting untuk kita mencari tahu pesan paling dalam dari buku-buku yang ditulisnya ini. Secara singkat dia ingin mengatakan bahwa jika 100 tahun lalu nenek moyangnya bermigrasi dari Lithuania dan Belarus, lalu bermukim dengan semua suka-duka di jalan-jalan dan pojok-pojok perumahan Whitechapel di Spitalfields, kini jalan menyebrang ke London dan lokasi yang sama ditempati para imigran Pakistan dan Bangladesh. Jika dulu di sana bergema dialog Yiddihsh dan Polandia, kini di sana terdengar logat kental Urdu atau Inggris Pakistan dan Bangladesh. Bau sup ayam pun telah berganti dengan bau kari ayam yang menyengat.

Apa inti cerita ini? Kata LeBor, jika dulu dia dan nenek moyang Yahudinya survive hidup di Barat dengan inklusivisme yang mereka bangun dan kembangkan, mengapa umat Islam tidak mengikuti jejak yang sama untuk mengecap kondisi survival yang sama? Toh, jejak fisik yang sama sudah mereka lalui, mengapa jejak moral dan spiritual yang sama tidak dilanjutkan saja?

Adalah LeBor yang merasa sangat nyaman dengan monoteisme yang digenggam erat kaum Muslim di mana pun mereka berada, sebagaimana dia dan saudara-saudaranya Yahudi juga secara konsisten menggenggam erat monoteisme yang sama. Agama Kristen yang banyak dianut di Barat, menurut LeBor, adalah agama cangkokan yang dibawa dari dunia luar dan karenanya tidak mengakar. Karena itu, mengapa dengan semangat monoteisme yang sama ini, baik Yahudi dan Muslim tidak hidup rukun saja seperti ribuan tahun silam, membangun peradaban dunia yang lebih baik dan tenteram?

Dalam bukunya ini, LeBor hanya mengutip beberapa ayat suci al-Quran dalam surat al-Rahman, serta surat al-Baqarah ayat 115 di halaman 337: ''Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.’’

Akan lebih sempurna, menurut saya, jika di halaman lain bukunya itu ia menambahkan firman Allah SWT yang diabadikan dalam ayat 62 surat al-Baqarah: ’’Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.’’