Selasa, 09 Desember 2008
Ibadah Kurban, Islam dan Semangat Kemanusiaan
Oleh: Drs. H. Helmi Hidayat, MA
(Khutbah ini disampaikan pada perayaan Iedul Adha 1429 H/2008 M, di hadapan jamaah masjid al-Balaagh, Pos Pengumben, Joglo, Jakarta Barat. Silakan mengcopy sebagian atau seluruhnya untuk disampaikan dalam khutbah-khutbah di mana pun agar menjadi 'ilmun yuntafau' bihi buat saya.)
Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Saudara-saudara kaum Muslimun yang berbahagia
Sejak fajar menyingsing di pagi hari ini sampai matahari terbenam tanggal 13 Dzulhijjah nanti, atau dikenal sebagai Hari Tasyriq selama empat hari berturut-turut, kita berada dalam suasana Idul Adha. Inilah Id terbesar dalam Islam. Di hari Id yang penuh kebahagiaan ini, tak terbayangkan betapa dahsyatnya ketakwaan orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Jutaan Muslim menyembelih hewan kurban karena Allah untuk dibagikan kepada sesama, meski mereka bisa saja bersikap bakhil tidak melakukannya. Jutaan Muslim menyapa sesama dengan semangat persaudaraan Islam, meski mereka bisa saja bersikap egoistis, memperkaya diri sendiri, bahkan merampas harta orang lain. Tak terbayangkan apa jadinya planet Bumi ini jika umat manusia, makhluk cerdas yang mampu berbuat apa saja dan bisa membantah perintah Allah SWT, tidak bertakwa kepada-Nya.
Pada hari ini, demi untuk mengasah tingkat ketakwaan umat manusia, khususnya orang-orang yang beriman kepada-Nya, kita diperintahkan oleh Dzat Mahaagung yang kita sembah siang malam itu untuk bershalat Idul Adha dan menyembelih hewan qurban. Allah SWT berfirman dalam QS al-Kautsar: 1 – 3:
إنّا أعطيناك الكوثر، فصلّ لربّك وانحرْ، إن شانئك هو الأبترُ
‘’Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Alllah).’’
Mari kita memohon semoga shalat Id yang baru saja kita laksanakan ini bukan saja diterima oleh Allah SWT, tapi juga membawa keberkahan hidup, ketentraman jiwa, dan khutbah yang akan disampaikan pun menjadi obor penerang batin kita yang gelap akibat modernisme dan hedonisme yang terus berkembang. Karena itu, penting khatib peringatkan lewat podium ini bahwa mendengar khutbah, baik setelah shalat Idul Fitri maupun Idul Adha, adalah bagian dari rukun shalat Id. Jangan pulang atau membubarkan diri sebelum khatib menyelesaikan khutbahnya. Sesuai syariah, shalat Id seseorang tidak sempurna jika ia tidak mendengarkan khutbah Id sampai selesai.
Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Saudara-saudara kaum Muslimun yang berbahagia
Menyembelih hewan kurban ditetapkan sebagai bagian dari ajaran Allah SWT dimulai dari perintah Sang Khalik kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih anaknya, Ismail AS. Kisah ini bisa kita rujuk dalam QS Al-Shaffat (37): 102:
فلما بلغ معه السعي قال يبُنـَيَّ إنّى أرى في المنام أنّى أذبحُكَ فانظر ماذا ترى، قال يـأبت افعل ما تؤمر ستجدنى إن شاء الله من الصّابرين
‘’Maka, tatkala anak itu (Ismail) sampai (pada umur untuk sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, dia berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, apa pendapat kamu? (Ismail menjawab): ‘Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, niscaya engkau akan mendapatiku jika Allah menghendaki termasuk orang-orang yang sabar.’’
Namun demikian, kisah ini hendaknya tidak ditafsirkan bahwa Islam mengajarkan Barbarianisme dan sikap-sikap tidak manusiawi lainnya. Islam diturunkan bukan untuk mengajarkan pertumpahan darah dan menyebarkan kebengisan, tapi justru untuk menjadi agama kasih, agama ketentraman, agama kemanusiaan. Dari ajaran Rasulullah SAW kita tahu bahwa ternyata perintah yang sangat memberatkan itu hanyalah ujian Allah SWT kepada Ibrahim dan Ismail alaihimas-salam, untuk mengukur tingkat ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Kisah heroik kedua nabi itulah yang bisa membuat Allah SWT berbangga diri kepada seluruh makhluk-Nya, baik yang berada di bumi maupun di langit. Lewat peristiwa heroik kedua hamba-Nya itu, Allah ingin menegaskan kepada seluruh makhluk-Nya di alam mayapada ini bahwa Dialah memang satu-satunya Tuhan yang Mahahebat, Mahaagung, dan karena itu layak disembah dan dipatuhi.
Sebagai manusia, baik Ibrahim maupun Ismail alaihimas-salam sebenarnya bisa saja membantah perintah Allah SWT yang tidak masuk di akal tadi, sebagaimana kita juga bisa saja membantah perintah Allah SWT untuk tidak beriman kepada-Nya, tidak shalat, tidak berpuasa, tidak berzakat, tidak berhaji, bahkan tidak menyembelih hewan kurban. Tapi, justru karena kedua nabi itu tunduk pada keagungan dan kehebatan Allah SWT itulah perintah menyembelih leher manusia yang tidak masuk akal itu tetap mereka lakukan, sebagaimana kita yang juga tidak membantah segala perintah dan larangan-Nya karena kekeguman kita pada keagungan dan kehebatan Sang Khalik, Rajadiraja seluruh alam mayapada ini.
Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Saudara-saudara kaum Muslimun yang berbahagia
Sebagai orang beriman, kita harus yakin bahwa menyembelih hewan kurban yang kita lakukan nanti akan mendapat ganjaran luar biasa dari Allah SWT. Rasulullah SAW berjanji dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Majah:
الأضحية لصاحبها بكلّ شَعرةٍ حسنَةٌ - ابن ماجه -
“Pahala berkurban itu diberikan kepada pelakunya dalam bentuk satu kebaikan untuk setiap helai bulu hewan yang dipotong.’’
Menurut kajian para antropolog, jauh sebelum Ibrahim AS diperintahkan untuk berkurban, umat manusia juga sudah memiliki tradisi menyembelih hewan-hewan kurban mereka untuk dipersembahkan kepada para dewa. Namun, berbeda dengan tujuan para penganut agama-agama kuno itu, yang menyerahkan sesajian hewan kurban mereka untuk dimakan para dewa mereka, tujuan berkurban dalam Islam adalah untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dan memperoleh derajat takwa di hadapan-Nya. Hendaknya kita camkan baik-baik, Allah SWT yang Mahakaya dan Mahasuci, yang kita sembah siang dan malam itu, sama sekali tidak butuh daging dan darah hewan yang kita potong. Allah tidak butuh pada makhluk ciptaan-Nya sendiri. Dia Mahakaya. Kalaupun kita diperintahkan juga menyembelih hewan kurban, itu karena Allah senang sekali dengan tingkat kepatuhan kita kepada-Nya saat menyembelih dan membagi-bagikan daging hewan kurban tadi kepada sesama manusia. Allah senang kita sesama manusia -- karena Dia -- saling mencintai, saling mengasihi, saling bertoleransi, membangun peradaban dunia yang lebih sejuk dan tenteram tanpa darah, tanpa dendam, tanpa ego sektoral, dan tanpa fanatisme buta. Dalam satu hadits shahih Rasulullah SAW bersabda:
لاتنال اللهَ لحومُها ولا دماؤُها ولكن التّقوى - رواه أحمد -
‘’Bukan daging dan darah hewan kurban itu yang sampai kepada Allah, tapi ketakwaan (pelaku kurban) itulah yang sampai kepada-Nya.’’
Hadirin dan hadirat sidang Idul Adha yang berbahagia …
Inilah sesungguhnya inti ajaran berkurban dalam Islam, yakni untuk menegaskan sekali lagi bahwa Islam adalah agama kemanusiaan. Agama inilah yang berkali-kali menegaskan dalam kitab sucinya al-Quran maupun ajaran-ajaran Rasulullah SAW bahwa peduli kepada kemanusiaan adalah inti dari diturunkannya agama ini ke planet Bumi.
Marilah kita mengambil studi kasus, sejauhmana sebenarnya kita meresapi kepeduliaan kepada kemanusiaan yang menjadi inti ajaran Islam. Di sejumlah pengajian untuk pembekalan manasik haji, para calon jemaah haji kerap bertanya apa yang sebaiknya mereka lakukan dalam berkurban: apakah dilakukan di tanah suci atau di Tanah Air? Pertanyaan ini mereka ungkapkan karena ada dilema di sana. Jika berkurban di Tanah Air, mereka khawatir tidak mendapatkan pahala beribadah 1.00.000 kali lipat di tanah suci Makkah. Tapi, jika mereka berkurban di tanah suci, ada rasa bersalah di hati mereka: hewan kurban yang mereka potong itu lebih dibutuhkan di Tanah Air ketimbang di Makkah. Di Tanah Air tercinta kita ini, tak kurang dari 60 juta orang tercatat sebagai orang miskin. Sementara di tanah suci, jika 50% saja dari seluruh jamaah haji melaksanakan kurban, tak kurang dari 2 juta orang menyembelih hewan kurban di waktu dan tempat yang sama. Ini belum termasuk jutaan penduduk Arab Saudi lainnya yang tidak berhaji tapi mereka tetap berkurban!
Berdasarkan kedua fakta sosiologis seperti itu, terhadap pertanyaan di atas mestinya jawaban ditekankan pada pilihan kedua, yakni hendaknya para jamaah haji itu berkurban di Tanah Air. Banyak orang miskin jarang makan daging di negeri yang disebut-sebut sangat subur ini. Jika mereka berpesta beberapa potong daging gratis saja setahun sekali, itu pun dengan antrean panjang dan berebut kupon untuk mendapatkannya, dampaknya cukup lumayan. Paling tidak, untuk sejenak, kegembiraan sesaat mereka itu bisa melupakan sejumlah problem kemiskinan struktural yang menumpuk di dada mereka.
Ada tiga alasan mengapa jamaah haji dianjurkan untuk berkurban di Tanah Air saja ketimbang di tanah suci. Alasan pertama, kekhawatiran tidak diperolehnya pahala ribuan kali lipat dari Allah SWT hanya karena kita tidak berkurban di tanah suci agak berlebihan. Rasulullah SAW memang pernah bersabda dalam satu hadits riwayat Ahmad bahwa Allah SWT akan melipatgandakan pahala ibadah seseorang – dalam hadits ini disebutkan shalat – 1.000 kali lipat jika itu dilakukan di Masjid Nabawi dan 100.000 kali lipat jika itu dilakukan di Masjid al-Haram. Namun, marilah kita berbaik sangka kepada Allah SWT bahwa Tuhan Yang Mahapemurah itu tetap memberikan pahala 100.000 kali lipat atas ibadah kurban yang kita lakukan di tanah suci, meski hewan kurbannya dipotong di Tanah Air. Mengapa? Ini karena kita tetap bisa dengan sengaja mengungkapkan niat beribadah kurban itu di tanah suci, meski hewan korban kita itu disembelih sanak saudara kita di Tanah Air.
Alasan kedua, berbeda dengan tujuan para penganut agama-agama kuno yang sudah dijelaskan tadi, yang menyerahkan sesajian hewan kurban mereka untuk dimakan para dewa mereka, tujuan berkurban dalam Islam adalah untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dan memperoleh derajat takwa. Sekali lagi harus ditegaskan di sini, Allah SWT yang Mahakaya dan Mahasuci tidak butuh daging dan darah hewan yang kita potong, tapi Dia senang sekali dengan tingkat kepatuhan kita kepada-Nya saat menyembelih hewan kurban, lalu membagi-bagikan daging hewan kurban itu kepada sesama manusia. Cinta kasih, cinta berkorban, cinta kemanusiaan, itulah inti ajaran Islam.
Dengan kata lain, jika kita berkurban di Tanah Air dengan niat peduli pada fakir miskin yang kita tinggalkan selama berhaji, kita akan mendapatkan dua pahala sekaligus. Pahala pertama datang dari niat berkurban yang kita ungkapkan di tanah suci dan itu bernilai ratusan ribu kali lipat seperti yang dijanjikan Rasulullah SAW, sementara pahala kedua mengalir dari sikap peduli kita yang konsisten kepada penghormatan atas kemanusiaan.
Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Hadirin sidang shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah SWT …
Khutbah singkat ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyalahkan orang yang tetap ingin berkurban di tanah suci karena keyakinan dan harapan mereka akan pahala yang berjumlah ratusan ribu kali lipat itu; tapi khutbah ini ingin menggarisbawahi filosofi dasar dari turunnya perintah berkurban itu sendiri, yakni penghormatan pada kemanusiaan. Inilah alasan ketiga dari dianjurkannya jamaah haji berkurban di Tanah Air, yakni menangkap dengan bijak pesan-pesan dan tujuan syariah paling mendasar dari diturunkannya perintah berkurban kepada para penganut agama-agama samawi.
Saat ini sejumlah fenomena menunjukkan banyak umat Islam melupakan filosofi dasar berupa penghormatan kepada kemanusiaan dari diturunkannya syariah kepada mereka. Padahal, jika dicermati secara seksama, rukun Islam yang lima mulai dari syahadat, shalat, puasa, zakat sampai haji semuanya memiliki filosofi dasar penghormatan kepada kemanusiaan itu.
Mari kita perhatikan baik-baik, sekali kita bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, itu berarti kita harus siap mengidentifikasi diri kita dengan sifat-sifat Allah. Ada 99 sifat Allah yang kita kenal, namun Allah sejak awal lebih senang memperkenalkan diri-Nya sebagai al-Rahman dan al-Rahim, Sang Pengasih dan Penyayang. Kasih dan sayang adalah tema dan definisi yang sepenuhnya berkaitan dengan kemanusiaan. Itulah sebabnya dalam setiap berbuat baik, kita diminta untuk menyebut bismillahirrahmaanirrahim … Sedang Muhammad SAW yang kita kenal adalah tokoh dunia yang risau melihat dekadensi moral penduduk Makkah. Dari situ ia berinstrospeksi diri dengan menyendiri di Gua Hira, membersihkan diri atau melakukan tazqiyatun-nafs. Dengan wahyu yang diterimanya ia kemudian membersihkan mentalitas keluarga dan kerabatnya alias tazqiyatul-jamaah. Barulah setelah itu ia membersihkan mentalitas masyarakat yang lebih luas dan multikultur di Madinah atau tazqiyatul-ummah. Semua yang dilakukan nabi penuh sopan santun ini adalah berdimensi kemanusiaan. Dialah nabi yang lahir dan dibesarkan dari keluarga miskin, sangat cinta pada anak-anak yatim, marah besar jika masyarakat miskin dinistakan.
Rukun Islam kedua adalah shalat. Ibadah yang satu ini tidak akan bernilai di mata Allah SWT jika ibadahnya itu tidak memiliki dampak sosial yang signifikan. Allah SWT justru menyebut celaka bagi mereka yang shalat, tapi dengan shalat itu mereka hanya ingin pamer dan tidak suka menolong orang lain. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam QS al-Maa’uun (107) ayat 4–7:
فويل للمصلِّين الّذين هم عن صلاتهم ساهون الّذين هُمْ يُراؤُون ويَمْنعون الماعون
‘’Maka, celakalah bagi orang-orang yang shalat; (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalat mereka; orang-orang yang berbuat riya’; dan enggan (menolong dengan) barang berguna.’’
Rukun Islam ketiga adalah puasa. Orang disuruh punya sikap empati kepada mereka yang miskin dan kelaparan lewat ibadah yang satu ini.
Sedang rukun Islam keempat adalah kewajiban membayar zakat. Tidak ada penjelasan lain untuk ibadah yang satu ini kecuali inilah bentuk paling harfiah penghormatan kepada kemanusiaan dari seluruh ibadah kepada Allah SWT yang harus dilakukan umat manusia. Kita disuruh berbagi, bukan malah korupsi; diperintahkan merangkul, bukan justru mengancam; diminta berderma, bukan malah merampok dan merampas!
Rukun Islam terakhir adalah ibadah haji. Lewat ibadah ini, orang disuruh bersilaturahim, lagi-lagi berbagi, dan berinteraksi secara pluralis, multikulturalis dan bersifat internasionalis. Catatan sejarah membuktikan bahwa dari interaksi itulah para aktivis dan pejuang kemerdekaan dari berbagai negara dulu pernah bersama-sama memecahkan masalah global kemanusiaan saat itu, mulai dari kolonialisme, perbudakan, penghisapan satu negara atas negara lain, sampai monopoli perdagangan regional dan internasional.
Kembali kepada ibadah kurban, jika dalam tingkat mikro saja selalu terpatri dalam sanubari seseorang untuk di satu sisi tetap beribadah pada Allah SWT dengan melaksanakan kurban di tanah suci, tapi di sisi lain selalu terpatri juga dalam hatinya untuk peduli pada fakir miskin di Tanah Air yang lebih membutuhkan daging kurban, maka cara pandang beribadah serupa ini pulalah yang akan terpancar darinya saat ia mengambil kebijakan di tingkat makro. Jika menjadi pejabat, ia akan konsisten mendedikasikan jabatannya buat kepentingan orang banyak dengan mengorbankan kepentingan pribadinya di atas kepentingan orang lain. Jika menjadi pengusaha, dia tidak akan menjadi kapitalis yang menghisap, yang melulu berorientasi pada keuntungan pribadi. Pengusaha seperti ini akan dipenuhi oleh semangat pengorbanan buat kemanusiaan dalam menciptakan keuntungan buat dirinya dengan selalu berpikir menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya untuk orang banyak. Begitulah seterusnya setiap komponen bangsa ini mestinya bersikap, entah mereka berprofesi sebagai guru, seniman, militer, polisi, hakim, jaksa, wartawan, pengacara, semuanya berpikir dan berkurban dengan paradigma kemanusiaan yang sama.
Jika semangat dan esensi berkurban seperti inilah yang ditangkap banyak orang, niscaya negeri ini segera keluar dari krisis multidimensional yang melilitnya. Setiap komponen bangsa yang hidup berdampingan di dalamnya tidak saling sikut saling gebuk, tapi justru saling ridla dan berkurban dengan fungsi dan peran masing-masing. Para ilmuwan berkurban dengan keilmuan mereka, pemerintah berdedikasi dengan jabatan mereka, ahli ibadah berperan dengan ibadah mereka, para pengusaha berkarya dengan sikap amanah mereka, sementara para pekerja membangun negeri dengan etos kerja mereka. Inilah potret negeri sejahtera yang digambarkan Muhammad SAW dalam salah satu hadits shahihnya:
الدنيا كالبستان تزينت بخمسة أشياء : علم العلماء، وعدل الأمراء، وعبادة العباد، وأمانة التجار، ونشط المحترفين
‘’Dunia itu ibarat kebun yang selalu berhias diri dengan lima aspek: ilmu para ilmuan, keadilan para pejabat, ibadah para tokoh spiritual, amanat para pengusaha dan kedisiplinan para pekerja.’’
جَعَلَنَا الله ُوَإِيَّاكُمْ مِنَ الْفَائِزِيْنَ الآمِنِيْنَ. وَأَدْخَلَنَا وَإِيّاكُمْ فِي عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Dear Ustadz Helmi,
Mohon izin untuk meng-copy paste postingan dari blog antum.
Salam
Hery Azwan
Silakan. Maaf baru saya jawab. Mudah-mudahan menjadi dakwah dan ilmu yang bermanfaat buat saya ...
Helmi Hidayat
Pak...izin copas ya pak...sbgai referensi....
Posting Komentar