Laman

Senin, 05 Januari 2009

Negara Mulut Buaya



Oleh: Helmi Hidayat

(Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Kolom di Majalah Pakar Vol III No. 6 edisi Desember - Januari 2007, halaman 18-19)

Ada banyak darah tumpah di tanah Nusantara jauh sebelum republik ini lahir. Mungkin mengalir dari tubuh orangtua, kakek, atau buyut kita, darah itu sekaligus saksi heroisme tinggi mereka. Dari buku sejarah kita tahu, tak banyak kepentingan pribadi maupun kelompok mencuat dari lubuk hati para pahlawan itu ketika mereka berteriak ‘’Merdeka!’’, lalu mati.

Sehari setelah proklamasi berkumandang hingga kini, tetap ada banyak darah tumpah di tanah ini. Sebagian tumpah karena heroisme yang sama ingin mengoyak bendera kolonialisme yang gagal dikibarkan kembali di sini, tapi sebagian lagi akibat benturan ideologi sesama anak bangsa. Atau mungkin karena kepentingan pribadi. Dunia bahkan terusik. Sejumlah kuburan massal, berikut ribuan kerangka anak bangsa yang dulu dituduh terlibat komunisme atau sebaliknya, banyak ditemukan di atas tanah subur ini.

Kita menaruh hormat pada darah yang tumpah karena heroisme, tapi prihatin terhadap darah yang menetes akibat gesekan kepentingan. Benturan ideologi -- dan seringkali tipis batasannya dengan kerakusan pribadi-pribadi penggagasnya -- tidak sekali dua kali pernah mencabik-cabik suatu negeri yang dulu pernah berjaya sekalipun. Jutaan warga bekas negara Uni Soviet atau Yugoslavia tahu betul kenyataan pahit ini. Sejarah nasional mereka mencatat: dulu anak-anak negeri itu pernah berbeda pendapat, saling cakar, sebuah revolusi berdarah lalu pecah, dan negeri itu pun terbelah bersamaan dengan matinya ratusan ribu anak bangsa oleh kapak perang saudara mereka sendiri.

Karena itu tak heran jika Thomas Hobbes melihat negara tak ubahnya seekor buaya. Ia menyebutnya Leviathan.

Warga suatu negara, demikian pemikiran filsuf abad pertengahan asal Inggris ini, tak ubahnya anak-anak buaya. Makhluk-makhluk lemah dan mungil itu sepakat berlindung di dalam mulut sang induk agar selamat dari serangan predator. Tapi, seraya merasa aman di dalam sana, buaya-buaya kecil itu tanpa sadar sesungguhnya juga tengah bercanda dengan maut: setiap detik mereka bisa saja mati tergigit, atau sengaja digigit, oleh taring-taring tajam sang induk tempat semula mereka merasa aman!

Demikianlah, dua mata pisau negara telah membingungkan warganya. Di satu sisi ia melindungi mereka yang berhimpun di dalamnya. Di sisi lain, seringkali atas nama nasionalisme, negara sewaktu-waktu bisa melumat mereka.

Pikiran Hobbes ada baiknya jadi pikiran kita. Sudahkah Republik Indonesia, yang dulu dibangun oleh darah dan semangat heroik nenek moyang kita untuk berlindung dari sergapan kolonialisme, benar-benar telah menjadi mulut buaya yang penuh kasih?

Untuk sementara rasanya kita boleh ragu. Bahkan tidak dilarang berkata tidak.

Syahdan, seperti buku sejarah Republik Rakyat Cina atau bekas negara Uni Soviet, buku sejarah republik ini pun dipenuhi mosaik ironi berikut ini: beberapa anak negeri pernah tewas terkapar di bibir Semanggi Mei 1998 lalu oleh timah-timah panas yang dibeli oleh pajak mereka sendiri; ada banyak Munir dibungkam atas nama bela negara, dan jauh sebelum itu banyak pemikir besar dipenjara hanya karena segelintir saudara mereka merasa terganggu oleh pikiran-pikiran mereka.

Sungguh, ketika semua itu dilakukan atas nama negara, tiba-tiba saja kita merasa seperti anak-anak buaya yang berlindung di antara taring-taring tajam induk kita sendiri. Alih-alih aman berlindung dari sergapan predator luar, kita sejatinya tengah bercanda dengan maut, terancam oleh predator-predator bertopeng di sekeliling kita.

Ini jauh lebih mencemaskan. Jika predator luar bisa dengan mudah kita kenali lewat perbedaan kulit, bahasa dan budaya, predator yang lahir di antara anak bangsa adalah kemusykilan. Siapa bisa mengukur hipokrisi dan dalamnya hati?

Ada banyak cara tentu saja untuk mengeleminasi otoritarianisme negara. Kekuasaan tidak boleh digenggam satu tangan, tapi hendaknya dipecah ke banyak tangan: eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Di situ ada harapan agar yang satu mengontrol lainnya agar negara tetap menjadi mulut buaya yang penuh kasih dan menentramkan. Tapi, sekali lagi, siapa bisa mengontrol pikiran yang punya kekuasaan? Bukankah di balik kekuasaan yang dipecah-pecah itu juga adalah orang-orang yang bisa berkumpul lalu bermufakat?

Orang kemudian dengan enteng membelah kumpulan anak-anak buaya itu ke dalam dua dikotomi: ‘’pemerintah’’ dan ‘’yang diperintah’’. Atau dalam bahasa lain: ‘’penguasa’’ dan ‘’yang dikuasai’’.

Pikiran jahat ini tak boleh diteruskan. Tidak boleh lahir kelas di antara anak bangsa. Menjadi presiden, menteri, polisi, jaksa, hakim, pegawai negeri, atau anggota militer bukanlah titisan, melainkan pilihan hidup. Ini persis ketika wartawan, politisi, banker, konsultan, guru, seniman atau pemulung menentukan pilihan hidup yang mereka gandrungi sendiri.

Bukankah dulu ketika proklamasi belum dibacakan, kita adalah sama anak-anak buaya yang kocar-kacir di bawah desingan meriam Belanda, Portugis, Inggris dan Jepang? Kontrak sosial yang kita sepakati bersama untuk berlindung di balik mulut buaya bernama Republik Indonesia tidak nantinya ditandatangani jika di kemudian hari yang satu jadi kelas ‘’penguasa’’ dan lainnya ‘’dikuasai’’. Kontrak itu diteken agar kita saling melindungi dan mengayomi. Taring-taring tajam induk kita tersedia bukan untuk menggilas perut anak negeri sendiri, tapi untuk membunuh predator-predator luar yang mengancam kita.

Tentu saja ada hukum, peraturan, tatanan sosial dan lain-lain untuk mengatur kebersamaan kita. Teori politik modern bahkan mengajarkan bahwa partai-partai politik dibentuk agar sesak dada mereka yang berada di posisi ‘’dikuasai’’ bisa efektif disalurkan. Tapi, teori dan praktek kadang lebih sering berbeda. Banyak di antara partai tak lebih dari sekadar perpanjangan tangan ‘’penguasa’’. Atau, alih-alih memperjuangkan nasib kawula, para petingginya justru asyik mendesakkan dan menganggap ideologi mereka sebagai satu-satunya kebenaran. Kata Tuhan, ‘’Kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun,’’– setiap partai berbangga-bangga dengan ideologi mereka (QS Al-Mu’minun: 54 dan QS Al-Rum: 32)!

Putus harapan? Ah, jangan. Masih ada jalan buat mereka yang secara tidak adil kepalang diberi label ‘’dikuasi’’ itu untuk bersuara dan merapatkan barisan. Adalah tugas kita untuk terus memperbesar public sphere. Orang bilang, kalangan media, lembaga swadaya masyarakat (LSM), civil society organizations (CSO), bisa memperluas sebesar-besarnya partisipasi publik itu. Jika tidak, atau sialnya kalangan pers, aktivis LSM dan para penggiat CSO juga membiarkan diri mereka dikooptasi, tamatlah sudah.

Di negeri di mana Patih Gajah Mada pernah bersumpah ini sesungguhnya kita benar-benar tengah bercanda dengan maut. Taring-taring tajam buaya siap melahap kita.

Jakarta, 15 November 2006

Tidak ada komentar: