Senin, 05 Januari 2009
Gelar Pahlawan Nasional untuk Buya Hamka
Oleh: Helmi Hidayat
Lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908, Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA) adalah tokoh yang memberikan kontribusi besar bagi pembentukan karakter bangsa di Tanah Air. Tak kurang dari 118 buku yang dikarangnya -- meliputi karya sastra, filsafat, teologi, hukum, tafsir al-Qur’an dan lain-lain – telah mewarnai pemikiran jutaan warga Indonesia. Interaksi pemikiran orang-orang yang telah membaca karya-karya besar itu, juga yang pernah mendengarkan langsung ceramah dan diskusi Buya Hamka di radio dan televisi, sedikit banyak telah memberikan kontribusi bagi pembentukan karakter bangsa yang terus berkembang hingga kini.
Sebagai seorang tokoh, Buya Hamka dapat dianggap sebagai anak empat zaman sekaligus. Ia membaca, menyaksikan, sekaligus bergumul dengan keempat zaman itu. Pertama-tama ia adalah keturunan biologis kakeknya, Syaikh Amrullah, pendiri Tarekat Naqsabandiyah. Hamka kecil bisa merasakan di tempat kelahirannya itu denyut ajaran kakeknya ini, bersama ajaran tarekat lain yang juga berkembang saat itu, untuk waktu yang lama pernah mendominasi Sumatera Barat sejak abad 17. Setelah itu, ia merekam sejarah bagaimana ajaran kaum adat-tarekat ini berbenturan langsung dengan paham Wahabiyya yang datang di awal abad 18, dengan semangat pemurnian Islam sebagai benderanya. Hamka bisa merasakan kerasnya benturan peradaban itu karena ayahnya, Dr. H. Abdul Karim Amrullah, termasuk di dalam kelompok reformisme Islam ini vis a vis ‘’kaum tua’’ pimpinan kakeknya.
Zaman ketiga yang dialami Hamka adalah sebuah periode ketika kelompok reformis Islam ini, pada gilirannya, juga harus berhadapan dengan kelompok yang lebih baru, kaum modernisme Islam. Jika kelompok pertama didominasi oleh kaum ulama yang belum tercerahkan oleh ilmu pengetahuan modern dan karenanya cenderung reaktif terhadap pengaruh Barat, sebaliknya kelompok kedua didominasi oleh kalangan ulama generasi baru yang lebih intelek dan melek mata terhadap pengetahuan modern. Karena itu, kelompok belakangan ini merasa lebih appropriate terhadap pengaruh Barat yang saat itu mendominasi Tanah Air lewat jejaring kolonialisme Belanda.
Hamka sesungguhnya anak kandung zaman ini. Sebagai bentuk perlawanan atas kaum reformis Islam ini, yang dalam banyak retorika dakwah mereka kerap menampilkan sikap keras, tak kenal kompromi, melulu berorientasi pada pemurnian Islam, Hamka pergi meninggalkan tanah Minangkabau menuju tanah Jawa pada 1924. Sebagai anak muda yang sudah empat tahun sebelumnya menekuni profesi wartawan yang dinamis – saat itu ia telah bergabung di beberapa perusahaan media massa antara lain Pelita Andalas, Seruan Islam, dan Bintang Islam -- Hamka muda sangat dahaga akan pembaruan, terutama cara pandangannya yang lebih baru terhadap Islam. Maka, ketika di Jawa ia bertemu dengan HOS Tjokroaminoto dan mengajarinya Islam dalam perspektif Barat, banyak berdiskusi soal tafsir al-Qur’an dengan Ki Bagus Hadikusumo, Sutan Mansur, A. Hassan dan M. Natsir, menimba ilmu sosiologi dari Soerjopranoto dan berguru sejarah Islam yang lebih komprehensif dari KH Mas Mansur, terpuaskanlah dahaga ilmu pengetahuannya itu.
Karena itu tak heran jika karya tulis yang pernah dilahirkannya merentang dari dunia sastra sampai dunia filsafat, dari kajian hukum sampai kajian tafsir al-Qur’an, dari teologi sampai sosiologi dan lain-lain. Di usia yang sangat muda, 19 tahun, selama dua tahun dia menjadi guru panutan di Perkebunan Tebing Tinggi Medan, untuk kemudian pindah dan menjadi guru agama di Padang Panjang, Sumatera Barat. Puncak karirnya di dunia pendidikan formal dicapai ketika ia menjadi dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang di era Orde Lama (1950-an).
Menjadi anak kandung zaman ketiga, Hamka yang telah berwawasan lebih luas ini menjadi bagian, bahkan banyak memberikan andil, bagi zaman keempat. Ini adalah era ketika Republik Indonesia baru lahir dan mencari bentuk karakter dan jatidiri bangsa. Jika di zaman ketiga dan sebelumnya persoalan khilafiyah dalam Islam menjadi perhatian utama, di zaman ini diskursus agama bergeser membahas dan mencari solusi persoalan faktual masyarakat dan politik kontemporer. Generasi di zaman ini mulai mempertanyakan dampak hebat dari kolonialisme yang baru saja berhasil dienyahkan dari bumi Nusantara terhadap harkat dan martabat bangsa, seraya dengan etos agama mereka berusaha bangkit sebagai bangsa baru.
Dengan kata lain, politisasi Islam telah dimulai di era ini dan Hamka terlibat aktif di dalamnya. Misalnya, jika dulu ia sepaham dengan Persatuan Islam (Persis) dalam paham kebangsaan, yang menilai bahwa nasionalisme tak lebih dari sekadar primordialisme sempit berdasarkan kesukuan, di era ini Hamka bergeser dengan mengatakan tak ada pertentangan mencolok antara Islam dan nasionalisme. Tokoh ini senyatanya telah memberikan sumbangsih yang luar biasa bagi terbentuknya karakter kebangsaan Indonesia di awal kemerdekaan, bahkan berlanjut hingga era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Berdasarkan rekam sejarah, ketokohan, dan peran Buya Hamka yang besar buat bangsa ini dulu dan hingga kini, saya secara yakin berpendapat bahwa Buya Hamka adalah pahlawan nasional yang tak boleh dilupakan oleh generasi yang datang kemudian. Dari tokoh alim yang lahir 100 tahun lalu di Maninjau ini (1908 – 2008) kita belajar banyak tentang jiwa besar, ketokohan, dan semangat kebangsaan …..
Setidaknya ada enam perspektif bisa kita diskusikan dari sosok berpengaruh ini hingga saya berkesimpulan sudah saatnya pemerintah menganugerahkan label pahlawan nasional kepadanya.
Pertama, dari sudut pandang politik dan kenegaraan kita bisa melihat secara kritis sejarah, peran, pemikiran dan kontribusi Buya Hamka terhadap pembentukan karakter bangsa (nation building) di Tanah Air. Mengapa Hamka, misalnya, lari dari mainstream Persis dengan mengatakan tidak ada pertentangan berarti antara nasionalisme dan Islam? Bagaimana dan apa peran Hamka ketika menjabat ketua Front Pertahanan Nasional Indonesia dan anggota Konstituante Masyumi pada 1947?
Kedua, dari perspektif kebudayaan, Hamka lebih dikenal sebagai novelis ketimbang kyai berpengaruh. Ini karena banyak orang, termasuk generasi muda kini, lebih banyak mengonsumsi karya-karya sastranya ketimbang Tafsir al-Azhar yang luar biasa itu. Orang lebih tahu Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck, misalnya, ketimbang Hak Asasi Manusia dalam Islam dan Deklarasi PBB, meski keduanya buah karya Hamka. Ada banyak karya sastra Hamka lainnya, misalnya Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Di Dalam Lembah Kehidupan (1939), Merantau ke Deli (1940) dan lain-lain. Apa daya pikat karya Hamka? Sejauhmana religiusitas sang pengarang berpengaruh atas karya-karya sastranya? Sejauhamana karya-karya sastra itu – kalaupun ada – memberi kontribusi terhadap nation building di Tanah Air?
Ketiga, dari sudut pandang intelektualisme, masyarakat generasi saat ini bisa mengkaji perkembangan pemikiran Hamka sejak remaja, masa muda sampai akhir hayatnya. Seperti dijelaskan di muka, tokoh ini adalah anak empat zaman berbeda – periode tarekat-adat, periode reformisme Islam, periode modernisme Islam, dan periode politisasi Islam. Perjalanan sejarah perkembangan pemikirannya, termasuk di dalamnya proses dialektika Hamka dengan tokoh-tokoh besar di zamannya, akan sangat bermanfaat buat generasi masa kini jika dipotret secara komprehensif dan terarah.
Perspektif keempat adalah sudut pandang keagamaan. Hamka adalah tokoh Islam modernis yang melewati zamannya dalam menafsirkan konsep kenegaraan dan kebangsaan dalam perspektif Islam. Disebut melampaui zamannya karena bahkan hingga saat ini pun, tafsirnya tentang pluralisme dan insklusivisme dalam Islam yang ditulisnya dalam Tafsir al-Azhar tetap mengundang kontroversi. Padahal, ia mulai menulis buku tafsir yang berjilid-jilid itu sejak 1967, ketika usia Indonesia masih sangat belia dan masyarakatnya terkotak-kotak dalam beragam politik aliran. Saat menafsirkan QS al-Baqarah: 62, misalnya, yang berarti ‘’Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani dan orang-orang Shabi’in yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati’’ Hamka menulis di halaman 263: ‘’Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merek apa yang diletakkan kepada mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu.’’ Selanjutnya Hamka berpesan agar dengan ayat ini orang tidak punya alasan sama sekali untuk bertikai atas nama agama. Kata kunci yang menjadi syarat mutlak dalam hidup bersama itu adalah beriman kepada Allah dan Hari Pembalasan. Untuk Indonesia yang multikulturalis, kita bisa menelaah, mengkritisi, juga mengapresiasi bersama tafsir-tafsir yang dilakukan Hamka, guna mengukur sejauhamana karya-karya tafisr itu memberi kontribusi terhadap nation building di Tanah Air.
Perspektif kelima adalah sudut pandang pendidikan. Sejak usia muda belia (19 tahun), Hamka sesungguhnya sudah mengabdikan diri menjadi pendidik di Tanah Air. Puncak karirnya di dunia pendidikan formal dicapai ketika ia menjadi dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang di era Orde Lama (1950-an). Yayasan Pendidikan al-Azhar di Jakarta adalah salah satu bentuk komitmen Buya Hamka di dunia pendidikan. Bukankah dari sini kita bisa berdiskusi sejauhmana peran Hamka dalam dunia pendidikan? Apa kontribusi terbesarnya untuk bangsa dan negara?
Perspektif keenam, tidak ada salahnya kita mendiskusikan bagaimana sebenarnya Hamka di mata pemuka agama non-Islam? Mestinya mereka yang di luar Islam menaruh hormat dan berutang budi kepada tokoh agamawan yang moderat ini. Di tengah merebaknya politik aliran, fundamentalisme beragama, bahkan pembantaian umat manusia atas nama agama seperti yang terjadi di Poso, Ambon, dan beberapa tempat lain di Tanah Air tercinta, jilid I Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka layak dibaca lagi. Tokoh ini telah memulai mengampanyekan pluralisme sejak 41 tahun silam lewat karya tafsirnya itu. Di sana Hamka sangat berharap tokoh-tokoh agama berperan besar dalam menyuburkan semangat toleransi yang terkandung dalam al-Qur’an al-Karim. Baca sekali lagi kalimat yang ditulisnya di halaman 267 – 268 Tafsir al-Azhar yang dikarangnya itu. ‘’Kita tidak akan bertemu suatu ayat yang begini penuh daya toleransi dan lapang dada, hanyalah dalam al-Qur’an!’’
Nah, bagaimana kini tokoh-tokoh non-Islam memandang Buya Hamka? Pasti besar kontribusi pemikirannya ini pada nation building. Namun sejauhmana ia terukur oleh tokoh-tokoh di luar Islam dan juga mereka yang berada dalam Islam, tulisan ini semoga menjadi stimulus untuk kita berdiskusi lebih lanjut. Semoga bermanfaat.
Jakarta, medio Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Bagus, blog anda disertai gambar, saya sudah coba juga memasang gambar di blog saya, utk ilustrasi dan tidak membossnkan sesuai saran dinda Helmi Hidayat. Minta izin, tulisan ini saya kopi ke blog saya, ok trima kasih sebelum nya, wassalam
Posting Komentar