Selasa, 06 Januari 2009
Maka Berpikirlah, Monyet ....
Oleh: Helmi Hidayat
(Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Kolom Majalah PAKAR Vol. IV. No. 1 edisi Januari-Februari, halaman 50-51)
Manusia adalah makhluk yang menarik. Itu kata Plato.
Di satu sisi, filosof Yunani kuno itu melihat ada substansi dalam diri manusia yang selalu gandrung terhadap alam ide, alam ‘’atas’’, abadi dan terhormat. Manusia mengetahuinya secara tersamar. Ibarat orang bawa obor di dalam gua, dia melihat bayang-bayang di dinding gua itu sebagai samar dan semu, meski dia tahu persis bahwa itu adalah bayang-bayang dirinya sendiri. Di sisi lain, Plato juga melihat ada substansi lain dalam diri manusia yang selalu cenderung menggeluti alam ‘’bawah’’, sifatnya dayus, gelap, tidak kekal, kurang terhormat.
Kedua substansi ini saling tarik-menarik. Kata Plato, itu ibarat dua ekor kuda menarik satu pedati: kuda yang satu selalu ingin terbang dan menarik pedati ke atas, semantara kuda lainnya senantiasa menarik pedati ke bawah. Siapa sais pedati? Akal pikiran, kata Plato. Jika si sais cerdas dan cermat, kedua ekor kuda itu bakal bisa dikendalikan dan pedati akan berjalan seimbang.
Orang dengan mudah menemukan kesamaan antara filsafat Plato ini dengan ajaran Islam. Banyak ustadz dan guru ngaji di surau, misalnya, mengingatkan kita tentang adanya hawa nafsu yang inheren dalam diri manusia. Hawa nafsu ini –substansi di mata Plato -- selalu mengajak pada kejahatan, kerendahan budi pekerti, dengan kenikmatan sesaat sebagai iming-imingnya. Setelah itu bisa ditebak. Si ustadz biasanya segera mengingatkan jamaahnya tentang peran nurani yang juga inheren dalam diri manusia, yang selalu mengajak manusia melakukan kebaikan. Akal pikiran biasanya selalu cocok dengan bisikan nurani ini – meski kebanyakan orang pura-pura tuli dan cenderung menuruti kata hawa nafsu.
Konsep inilah yang membuat manusia, dalam Islam, jadi punya tanggung jawab penuh atas apa saja yang mereka putuskan. Mereka bebas menurunkan jiwa yang terjebak dalam jasad kasar mereka ke derajat apa saja, entah setaraf dengan tumbuh-tumbuhan, setingkat binatang, atau semulia martabat malaikat. Tentu itu dengan konsekuensinya sendiri-sendiri. Pendek kata, eksistensi manusia diukur dari penuhnya kebebasan yang mereka peroleh dan penuhnya tanggung jawab yang harus mereka pikul. Dalam kalimat Tuhan, ‘’Beruntunglah orang yang menyucikan jiwa. Dan merugilah orang yang menistakannya.’’
Jika Plato hanya membuat dikotomi adanya jiwa rendah dan jiwa tinggi yang tarik-menarik dalam diri manusia, beberapa filosof Muslim, misalnya Ibnu Sina, mengembangkan pemikiran itu lebih detil dan menarik. Kata mereka, dalam diri manusia terdapat tiga jiwa – tumbuh-tumbuhan, binatang, dan malaikat. Manusia bebas memilih jiwa mana yang mau dia kembangkan. Karena itu, lagi-lagi mereka harus bertanggungjawab atas pilihan eksistensial mereka.
Pikiran ini bukan cuma menarik, tapi juga bisa terkesan main-main kalau orang tak serius merenungkannnya. Buat sebagian ini malah sulit dimengerti. Bagaimana mungkin manusia bisa sederajat tumbuhan-tumbuhan? Tapi begitulah faktanya. Seperti manusia, tumbuh-tumbuhan juga makhluk hidup. Ia punya hasrat untuk makan, minum, tumbuh berkembang mempertahankan keturunannya – sebagian malah lewat aktivitas seks dalam cara yang berbeda.
Sampai di sini, bukankah tak ada beda antara manusia dan tumbuh-tumbuhan? Kalau pun ada, itu karena manusia memiliki dan menggunakan kelima alat inderawinya, mencabut kakinya dari tanah, lalu bergerak dan berlari. Tapi, bukankah monyet juga bisa? Ya, monyet juga bisa bergerak dan berlari, makan dan minum, melihat, mendengar, meraba dan merasa seperti manusia. Cara monyet beraktivitas seksual malah sama dengan manusia. Bahkan, dengan tempurung otak yang tak terlalu besar, monyet mampu mengembangkan daya khayalinya: ia gesit menyerang, mempertahankan diri, juga membangun piramida sosial lengkap dengan struktur pemimpin dan yang dipimpin.
Nah, kalau begitu, apa beda antara manusia dan monyet?
Kalau obrolan ini kita hentikan sampai di sini, jawabnya tentu tak ada beda. Apalagi anatomi monyet – lebih-lebih anggota serumpunnya yang lain semisal Gorila, Simpanse, Gibon atau Orangutan – tak jauh berbeda dengan manusia.
Tapi, seperti kata seorang kawan mengutip Aristoteles, manusia bisa berpikir; bahkan berpikir tentang apa saja -- tentang masa lalunya, masa sekarang, juga masa depannya. Pengertian berpikir di sini luas, tidak melulu berarti memikirkan jawaban soal-soal ujian. Ada keajaiban ketika seseorang berpikir, terutama ketika dia berpikir tentang masa lalu, masa depan, dan masa sekarangnya. Karl Jaspers (1910-1969) malah mewanti-wanti agar manusia selalu merenungkan masa lalunya sebagai landasan dalam menentukan masa depannya. ‘’Man must know what he was, to realize what he can be,’’ kata Jaspers. ‘’His historic past is inevitable basic factor of his future.’’
Berpikir tentang masa lalu dan masa depan berarti berpikir tentang yang tak tampak, yang gaib. Memikirkan besok makan apa buat mereka yang tak punya duit termasuk berpikir tentang yang gaib, sama ketika orang berpikir bagaimana jiwa mereka yang bakal tidur panjang di alam kubur nanti bakal dibangkitkan kembali, lalu berjalan, lalu entah tertunduk lesu atau mendongak girang ketika kemilau cahaya Tuhan menerangi Gurun Mahsyar tempat mereka dikumpulkan. Ada keasyikan tersendiri – sampai mabuk dalam ekstase kata Al-Hallaj -- ketika kita berpikir tentang masa depan – suatu ‘masa’ yang benar-benar jauh di depan.
Berpikir tentang masa sekarang tak kalah asyik. Kita malah lebih sering terjebak di dalamnya: berpikir tentang yang nyata, yang mewaktu dan meruang, terpenjara oleh kesadaran detik dan menit, terjebak dalam kesadaran terbit dan tenggelamnya Matahari; pokoknya pikiran sehari-hari -- mulai dari memilih merek sabun mandi sampai gemar duduk berjam-jam di bangku diskotek menikmati goyang penyanyi dangdut.
Singkat kata, Aristoteles benar bahwa berpikir adalah segala-galanya buat manusia. Ia menyebut manusia sebagai hayawaan naatiq alias binatang berpikir. Rene Descartes malah punya jargon yang lebih ekstrem dan populer, cogito ergo sum – aku berpikir maka aku ada. Demikian besarnya peran berpikir buat makhluk manusia, sampai-sampai Allah menganggap manusia yang mengabaikan potensi berpikirnya lebih hina dari binatang di dunia ini seraya menjebloskan mereka ke neraka Jahanam di akhirat nanti. ‘’Sesungguhnya Kami jadikan isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka punya akal tapi tidak digunakan untuk berpikir, punya mata tapi tak digunakan untuk melihat, dan punya telinga tapi tak digunakan untuk mendengar. Mereka seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi. Mereka adalah orang-orang yang lalai.’’ (QS 7:179)
Pendek kata, kata kawan tadi, kekuatan berpikir inilah yang membuat manusia luar biasa sekaligus membedakannya dengan monyet. Potensi berpikir inilah yang membuat manusia – bukan monyet – mampu meraba dasar laut dan menari di atas bulan, melubangi kawah gunung dan menguruk danau, atau merancang masa depannya menjadi apa saja. Tuhan tidak sedang tidur ketika Ia berkata: ‘’Telah Kami ciptakan manusia dalam sebaik-baiknya bentuk.’’ (QS 95: 4)
Ukuran ‘’terbaik’’ di sini tentu bukanlah semata fisik, tapi juga terutama nonfisik. Toh, banyak juga orang tergila-gila dengan fisik anjing sampai membuat fesitival anjing segala, atau begitu marah ketika anjing disia-siakan – meski mereka diam saja ketika ratusan ribu manusia tak berdosa di Bosnia, Irak, Afghanistan dan banyak tempat lainnya dibantai secara lebih terhina ketimbang anjing.
Jika pendapat kawan tadi benar, berarti cuma berpikirlah satu-satunya faktor yang membedakan manusia dengan monyet!
Maka, berpikirlah, monyet! Engkau akan diterima dalam komunitas manusia.
Berpikirlah, monyet! Manusia tak akan lagi sesumbar bahwa merekalah makhluk terbaik di jagad raya ini.
Berpikirlah, monyet! Engkau tak akan lagi cuma berkelahi dengan taring dan cakar, tapi dengan panah, tombak, pedang dan senjata nuklir.
Berpikirlah, monyet! Engkau akan mampu bermain golf di bulan.
Berpikirlah, monyet! Engkau bisa menikah di dasar lautan, atau bertukar cincin kawin sambil bergelantungan di payung terjun.
Berpikirlah, monyet! Engkau akan ngobrol lewat satelit dari hutan tropis Borneo dengan saudara iparmu di gunung-gunung Skandinavia atau hutan-hutan Afrika.
Berpikirlah, monyet! Engkau akan terkesima melihat indahnya kehidupan di perut ibu, terkesiap ketika alat kelaminmu disunat, menjadi pengantin dalam akad nikah berdasar cinta, lalu berharap bisa segera tidur panjang di dasar kubur yang dingin sambil tersenyum ingin segera melihat wajah Allah di Gurun Mahsyar ….
Tapi, monyet tetaplah monyet. Anda tak bisa berharap banyak dari monyet. Amanah untuk menerima kemampuan berpikir begitu berat buat monyet. Tapi tidak untuk manusia. Mereka justeru makhluk berpikir.
Karena itu jangan pernah berhenti berpikir. Anda pasti tak mau disebut .....monyet!
Jakarta, 4 Januari 2007
Senin, 05 Januari 2009
Negara Mulut Buaya
Oleh: Helmi Hidayat
(Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Kolom di Majalah Pakar Vol III No. 6 edisi Desember - Januari 2007, halaman 18-19)
Ada banyak darah tumpah di tanah Nusantara jauh sebelum republik ini lahir. Mungkin mengalir dari tubuh orangtua, kakek, atau buyut kita, darah itu sekaligus saksi heroisme tinggi mereka. Dari buku sejarah kita tahu, tak banyak kepentingan pribadi maupun kelompok mencuat dari lubuk hati para pahlawan itu ketika mereka berteriak ‘’Merdeka!’’, lalu mati.
Sehari setelah proklamasi berkumandang hingga kini, tetap ada banyak darah tumpah di tanah ini. Sebagian tumpah karena heroisme yang sama ingin mengoyak bendera kolonialisme yang gagal dikibarkan kembali di sini, tapi sebagian lagi akibat benturan ideologi sesama anak bangsa. Atau mungkin karena kepentingan pribadi. Dunia bahkan terusik. Sejumlah kuburan massal, berikut ribuan kerangka anak bangsa yang dulu dituduh terlibat komunisme atau sebaliknya, banyak ditemukan di atas tanah subur ini.
Kita menaruh hormat pada darah yang tumpah karena heroisme, tapi prihatin terhadap darah yang menetes akibat gesekan kepentingan. Benturan ideologi -- dan seringkali tipis batasannya dengan kerakusan pribadi-pribadi penggagasnya -- tidak sekali dua kali pernah mencabik-cabik suatu negeri yang dulu pernah berjaya sekalipun. Jutaan warga bekas negara Uni Soviet atau Yugoslavia tahu betul kenyataan pahit ini. Sejarah nasional mereka mencatat: dulu anak-anak negeri itu pernah berbeda pendapat, saling cakar, sebuah revolusi berdarah lalu pecah, dan negeri itu pun terbelah bersamaan dengan matinya ratusan ribu anak bangsa oleh kapak perang saudara mereka sendiri.
Karena itu tak heran jika Thomas Hobbes melihat negara tak ubahnya seekor buaya. Ia menyebutnya Leviathan.
Warga suatu negara, demikian pemikiran filsuf abad pertengahan asal Inggris ini, tak ubahnya anak-anak buaya. Makhluk-makhluk lemah dan mungil itu sepakat berlindung di dalam mulut sang induk agar selamat dari serangan predator. Tapi, seraya merasa aman di dalam sana, buaya-buaya kecil itu tanpa sadar sesungguhnya juga tengah bercanda dengan maut: setiap detik mereka bisa saja mati tergigit, atau sengaja digigit, oleh taring-taring tajam sang induk tempat semula mereka merasa aman!
Demikianlah, dua mata pisau negara telah membingungkan warganya. Di satu sisi ia melindungi mereka yang berhimpun di dalamnya. Di sisi lain, seringkali atas nama nasionalisme, negara sewaktu-waktu bisa melumat mereka.
Pikiran Hobbes ada baiknya jadi pikiran kita. Sudahkah Republik Indonesia, yang dulu dibangun oleh darah dan semangat heroik nenek moyang kita untuk berlindung dari sergapan kolonialisme, benar-benar telah menjadi mulut buaya yang penuh kasih?
Untuk sementara rasanya kita boleh ragu. Bahkan tidak dilarang berkata tidak.
Syahdan, seperti buku sejarah Republik Rakyat Cina atau bekas negara Uni Soviet, buku sejarah republik ini pun dipenuhi mosaik ironi berikut ini: beberapa anak negeri pernah tewas terkapar di bibir Semanggi Mei 1998 lalu oleh timah-timah panas yang dibeli oleh pajak mereka sendiri; ada banyak Munir dibungkam atas nama bela negara, dan jauh sebelum itu banyak pemikir besar dipenjara hanya karena segelintir saudara mereka merasa terganggu oleh pikiran-pikiran mereka.
Sungguh, ketika semua itu dilakukan atas nama negara, tiba-tiba saja kita merasa seperti anak-anak buaya yang berlindung di antara taring-taring tajam induk kita sendiri. Alih-alih aman berlindung dari sergapan predator luar, kita sejatinya tengah bercanda dengan maut, terancam oleh predator-predator bertopeng di sekeliling kita.
Ini jauh lebih mencemaskan. Jika predator luar bisa dengan mudah kita kenali lewat perbedaan kulit, bahasa dan budaya, predator yang lahir di antara anak bangsa adalah kemusykilan. Siapa bisa mengukur hipokrisi dan dalamnya hati?
Ada banyak cara tentu saja untuk mengeleminasi otoritarianisme negara. Kekuasaan tidak boleh digenggam satu tangan, tapi hendaknya dipecah ke banyak tangan: eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Di situ ada harapan agar yang satu mengontrol lainnya agar negara tetap menjadi mulut buaya yang penuh kasih dan menentramkan. Tapi, sekali lagi, siapa bisa mengontrol pikiran yang punya kekuasaan? Bukankah di balik kekuasaan yang dipecah-pecah itu juga adalah orang-orang yang bisa berkumpul lalu bermufakat?
Orang kemudian dengan enteng membelah kumpulan anak-anak buaya itu ke dalam dua dikotomi: ‘’pemerintah’’ dan ‘’yang diperintah’’. Atau dalam bahasa lain: ‘’penguasa’’ dan ‘’yang dikuasai’’.
Pikiran jahat ini tak boleh diteruskan. Tidak boleh lahir kelas di antara anak bangsa. Menjadi presiden, menteri, polisi, jaksa, hakim, pegawai negeri, atau anggota militer bukanlah titisan, melainkan pilihan hidup. Ini persis ketika wartawan, politisi, banker, konsultan, guru, seniman atau pemulung menentukan pilihan hidup yang mereka gandrungi sendiri.
Bukankah dulu ketika proklamasi belum dibacakan, kita adalah sama anak-anak buaya yang kocar-kacir di bawah desingan meriam Belanda, Portugis, Inggris dan Jepang? Kontrak sosial yang kita sepakati bersama untuk berlindung di balik mulut buaya bernama Republik Indonesia tidak nantinya ditandatangani jika di kemudian hari yang satu jadi kelas ‘’penguasa’’ dan lainnya ‘’dikuasai’’. Kontrak itu diteken agar kita saling melindungi dan mengayomi. Taring-taring tajam induk kita tersedia bukan untuk menggilas perut anak negeri sendiri, tapi untuk membunuh predator-predator luar yang mengancam kita.
Tentu saja ada hukum, peraturan, tatanan sosial dan lain-lain untuk mengatur kebersamaan kita. Teori politik modern bahkan mengajarkan bahwa partai-partai politik dibentuk agar sesak dada mereka yang berada di posisi ‘’dikuasai’’ bisa efektif disalurkan. Tapi, teori dan praktek kadang lebih sering berbeda. Banyak di antara partai tak lebih dari sekadar perpanjangan tangan ‘’penguasa’’. Atau, alih-alih memperjuangkan nasib kawula, para petingginya justru asyik mendesakkan dan menganggap ideologi mereka sebagai satu-satunya kebenaran. Kata Tuhan, ‘’Kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun,’’– setiap partai berbangga-bangga dengan ideologi mereka (QS Al-Mu’minun: 54 dan QS Al-Rum: 32)!
Putus harapan? Ah, jangan. Masih ada jalan buat mereka yang secara tidak adil kepalang diberi label ‘’dikuasi’’ itu untuk bersuara dan merapatkan barisan. Adalah tugas kita untuk terus memperbesar public sphere. Orang bilang, kalangan media, lembaga swadaya masyarakat (LSM), civil society organizations (CSO), bisa memperluas sebesar-besarnya partisipasi publik itu. Jika tidak, atau sialnya kalangan pers, aktivis LSM dan para penggiat CSO juga membiarkan diri mereka dikooptasi, tamatlah sudah.
Di negeri di mana Patih Gajah Mada pernah bersumpah ini sesungguhnya kita benar-benar tengah bercanda dengan maut. Taring-taring tajam buaya siap melahap kita.
Jakarta, 15 November 2006
Gelar Pahlawan Nasional untuk Buya Hamka
Oleh: Helmi Hidayat
Lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908, Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA) adalah tokoh yang memberikan kontribusi besar bagi pembentukan karakter bangsa di Tanah Air. Tak kurang dari 118 buku yang dikarangnya -- meliputi karya sastra, filsafat, teologi, hukum, tafsir al-Qur’an dan lain-lain – telah mewarnai pemikiran jutaan warga Indonesia. Interaksi pemikiran orang-orang yang telah membaca karya-karya besar itu, juga yang pernah mendengarkan langsung ceramah dan diskusi Buya Hamka di radio dan televisi, sedikit banyak telah memberikan kontribusi bagi pembentukan karakter bangsa yang terus berkembang hingga kini.
Sebagai seorang tokoh, Buya Hamka dapat dianggap sebagai anak empat zaman sekaligus. Ia membaca, menyaksikan, sekaligus bergumul dengan keempat zaman itu. Pertama-tama ia adalah keturunan biologis kakeknya, Syaikh Amrullah, pendiri Tarekat Naqsabandiyah. Hamka kecil bisa merasakan di tempat kelahirannya itu denyut ajaran kakeknya ini, bersama ajaran tarekat lain yang juga berkembang saat itu, untuk waktu yang lama pernah mendominasi Sumatera Barat sejak abad 17. Setelah itu, ia merekam sejarah bagaimana ajaran kaum adat-tarekat ini berbenturan langsung dengan paham Wahabiyya yang datang di awal abad 18, dengan semangat pemurnian Islam sebagai benderanya. Hamka bisa merasakan kerasnya benturan peradaban itu karena ayahnya, Dr. H. Abdul Karim Amrullah, termasuk di dalam kelompok reformisme Islam ini vis a vis ‘’kaum tua’’ pimpinan kakeknya.
Zaman ketiga yang dialami Hamka adalah sebuah periode ketika kelompok reformis Islam ini, pada gilirannya, juga harus berhadapan dengan kelompok yang lebih baru, kaum modernisme Islam. Jika kelompok pertama didominasi oleh kaum ulama yang belum tercerahkan oleh ilmu pengetahuan modern dan karenanya cenderung reaktif terhadap pengaruh Barat, sebaliknya kelompok kedua didominasi oleh kalangan ulama generasi baru yang lebih intelek dan melek mata terhadap pengetahuan modern. Karena itu, kelompok belakangan ini merasa lebih appropriate terhadap pengaruh Barat yang saat itu mendominasi Tanah Air lewat jejaring kolonialisme Belanda.
Hamka sesungguhnya anak kandung zaman ini. Sebagai bentuk perlawanan atas kaum reformis Islam ini, yang dalam banyak retorika dakwah mereka kerap menampilkan sikap keras, tak kenal kompromi, melulu berorientasi pada pemurnian Islam, Hamka pergi meninggalkan tanah Minangkabau menuju tanah Jawa pada 1924. Sebagai anak muda yang sudah empat tahun sebelumnya menekuni profesi wartawan yang dinamis – saat itu ia telah bergabung di beberapa perusahaan media massa antara lain Pelita Andalas, Seruan Islam, dan Bintang Islam -- Hamka muda sangat dahaga akan pembaruan, terutama cara pandangannya yang lebih baru terhadap Islam. Maka, ketika di Jawa ia bertemu dengan HOS Tjokroaminoto dan mengajarinya Islam dalam perspektif Barat, banyak berdiskusi soal tafsir al-Qur’an dengan Ki Bagus Hadikusumo, Sutan Mansur, A. Hassan dan M. Natsir, menimba ilmu sosiologi dari Soerjopranoto dan berguru sejarah Islam yang lebih komprehensif dari KH Mas Mansur, terpuaskanlah dahaga ilmu pengetahuannya itu.
Karena itu tak heran jika karya tulis yang pernah dilahirkannya merentang dari dunia sastra sampai dunia filsafat, dari kajian hukum sampai kajian tafsir al-Qur’an, dari teologi sampai sosiologi dan lain-lain. Di usia yang sangat muda, 19 tahun, selama dua tahun dia menjadi guru panutan di Perkebunan Tebing Tinggi Medan, untuk kemudian pindah dan menjadi guru agama di Padang Panjang, Sumatera Barat. Puncak karirnya di dunia pendidikan formal dicapai ketika ia menjadi dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang di era Orde Lama (1950-an).
Menjadi anak kandung zaman ketiga, Hamka yang telah berwawasan lebih luas ini menjadi bagian, bahkan banyak memberikan andil, bagi zaman keempat. Ini adalah era ketika Republik Indonesia baru lahir dan mencari bentuk karakter dan jatidiri bangsa. Jika di zaman ketiga dan sebelumnya persoalan khilafiyah dalam Islam menjadi perhatian utama, di zaman ini diskursus agama bergeser membahas dan mencari solusi persoalan faktual masyarakat dan politik kontemporer. Generasi di zaman ini mulai mempertanyakan dampak hebat dari kolonialisme yang baru saja berhasil dienyahkan dari bumi Nusantara terhadap harkat dan martabat bangsa, seraya dengan etos agama mereka berusaha bangkit sebagai bangsa baru.
Dengan kata lain, politisasi Islam telah dimulai di era ini dan Hamka terlibat aktif di dalamnya. Misalnya, jika dulu ia sepaham dengan Persatuan Islam (Persis) dalam paham kebangsaan, yang menilai bahwa nasionalisme tak lebih dari sekadar primordialisme sempit berdasarkan kesukuan, di era ini Hamka bergeser dengan mengatakan tak ada pertentangan mencolok antara Islam dan nasionalisme. Tokoh ini senyatanya telah memberikan sumbangsih yang luar biasa bagi terbentuknya karakter kebangsaan Indonesia di awal kemerdekaan, bahkan berlanjut hingga era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Berdasarkan rekam sejarah, ketokohan, dan peran Buya Hamka yang besar buat bangsa ini dulu dan hingga kini, saya secara yakin berpendapat bahwa Buya Hamka adalah pahlawan nasional yang tak boleh dilupakan oleh generasi yang datang kemudian. Dari tokoh alim yang lahir 100 tahun lalu di Maninjau ini (1908 – 2008) kita belajar banyak tentang jiwa besar, ketokohan, dan semangat kebangsaan …..
Setidaknya ada enam perspektif bisa kita diskusikan dari sosok berpengaruh ini hingga saya berkesimpulan sudah saatnya pemerintah menganugerahkan label pahlawan nasional kepadanya.
Pertama, dari sudut pandang politik dan kenegaraan kita bisa melihat secara kritis sejarah, peran, pemikiran dan kontribusi Buya Hamka terhadap pembentukan karakter bangsa (nation building) di Tanah Air. Mengapa Hamka, misalnya, lari dari mainstream Persis dengan mengatakan tidak ada pertentangan berarti antara nasionalisme dan Islam? Bagaimana dan apa peran Hamka ketika menjabat ketua Front Pertahanan Nasional Indonesia dan anggota Konstituante Masyumi pada 1947?
Kedua, dari perspektif kebudayaan, Hamka lebih dikenal sebagai novelis ketimbang kyai berpengaruh. Ini karena banyak orang, termasuk generasi muda kini, lebih banyak mengonsumsi karya-karya sastranya ketimbang Tafsir al-Azhar yang luar biasa itu. Orang lebih tahu Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck, misalnya, ketimbang Hak Asasi Manusia dalam Islam dan Deklarasi PBB, meski keduanya buah karya Hamka. Ada banyak karya sastra Hamka lainnya, misalnya Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Di Dalam Lembah Kehidupan (1939), Merantau ke Deli (1940) dan lain-lain. Apa daya pikat karya Hamka? Sejauhmana religiusitas sang pengarang berpengaruh atas karya-karya sastranya? Sejauhamana karya-karya sastra itu – kalaupun ada – memberi kontribusi terhadap nation building di Tanah Air?
Ketiga, dari sudut pandang intelektualisme, masyarakat generasi saat ini bisa mengkaji perkembangan pemikiran Hamka sejak remaja, masa muda sampai akhir hayatnya. Seperti dijelaskan di muka, tokoh ini adalah anak empat zaman berbeda – periode tarekat-adat, periode reformisme Islam, periode modernisme Islam, dan periode politisasi Islam. Perjalanan sejarah perkembangan pemikirannya, termasuk di dalamnya proses dialektika Hamka dengan tokoh-tokoh besar di zamannya, akan sangat bermanfaat buat generasi masa kini jika dipotret secara komprehensif dan terarah.
Perspektif keempat adalah sudut pandang keagamaan. Hamka adalah tokoh Islam modernis yang melewati zamannya dalam menafsirkan konsep kenegaraan dan kebangsaan dalam perspektif Islam. Disebut melampaui zamannya karena bahkan hingga saat ini pun, tafsirnya tentang pluralisme dan insklusivisme dalam Islam yang ditulisnya dalam Tafsir al-Azhar tetap mengundang kontroversi. Padahal, ia mulai menulis buku tafsir yang berjilid-jilid itu sejak 1967, ketika usia Indonesia masih sangat belia dan masyarakatnya terkotak-kotak dalam beragam politik aliran. Saat menafsirkan QS al-Baqarah: 62, misalnya, yang berarti ‘’Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani dan orang-orang Shabi’in yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati’’ Hamka menulis di halaman 263: ‘’Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merek apa yang diletakkan kepada mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu.’’ Selanjutnya Hamka berpesan agar dengan ayat ini orang tidak punya alasan sama sekali untuk bertikai atas nama agama. Kata kunci yang menjadi syarat mutlak dalam hidup bersama itu adalah beriman kepada Allah dan Hari Pembalasan. Untuk Indonesia yang multikulturalis, kita bisa menelaah, mengkritisi, juga mengapresiasi bersama tafsir-tafsir yang dilakukan Hamka, guna mengukur sejauhamana karya-karya tafisr itu memberi kontribusi terhadap nation building di Tanah Air.
Perspektif kelima adalah sudut pandang pendidikan. Sejak usia muda belia (19 tahun), Hamka sesungguhnya sudah mengabdikan diri menjadi pendidik di Tanah Air. Puncak karirnya di dunia pendidikan formal dicapai ketika ia menjadi dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang di era Orde Lama (1950-an). Yayasan Pendidikan al-Azhar di Jakarta adalah salah satu bentuk komitmen Buya Hamka di dunia pendidikan. Bukankah dari sini kita bisa berdiskusi sejauhmana peran Hamka dalam dunia pendidikan? Apa kontribusi terbesarnya untuk bangsa dan negara?
Perspektif keenam, tidak ada salahnya kita mendiskusikan bagaimana sebenarnya Hamka di mata pemuka agama non-Islam? Mestinya mereka yang di luar Islam menaruh hormat dan berutang budi kepada tokoh agamawan yang moderat ini. Di tengah merebaknya politik aliran, fundamentalisme beragama, bahkan pembantaian umat manusia atas nama agama seperti yang terjadi di Poso, Ambon, dan beberapa tempat lain di Tanah Air tercinta, jilid I Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka layak dibaca lagi. Tokoh ini telah memulai mengampanyekan pluralisme sejak 41 tahun silam lewat karya tafsirnya itu. Di sana Hamka sangat berharap tokoh-tokoh agama berperan besar dalam menyuburkan semangat toleransi yang terkandung dalam al-Qur’an al-Karim. Baca sekali lagi kalimat yang ditulisnya di halaman 267 – 268 Tafsir al-Azhar yang dikarangnya itu. ‘’Kita tidak akan bertemu suatu ayat yang begini penuh daya toleransi dan lapang dada, hanyalah dalam al-Qur’an!’’
Nah, bagaimana kini tokoh-tokoh non-Islam memandang Buya Hamka? Pasti besar kontribusi pemikirannya ini pada nation building. Namun sejauhmana ia terukur oleh tokoh-tokoh di luar Islam dan juga mereka yang berada dalam Islam, tulisan ini semoga menjadi stimulus untuk kita berdiskusi lebih lanjut. Semoga bermanfaat.
Jakarta, medio Februari 2008
Binatang di Lampu Merah
Oleh: Helmi Hidayat
Entah mengapa ia disebut Lampu Merah. Padahal, di tiang itu juga tergantung lampu hijau dan kuning. Mungkin menyebut Lampu Rahjauning – kependekan dari Merah, Hijau dan Kuning – terasa berat buat masyarakat, meski sebagian masyarakat di Jawa Timur toh telah menyebut tiang yang sama sebagai Bangijo – kependekan dari kata abang (merah) dan ijo (hijau). Atau mungkin menyebut traffic light terasa dipaksakan, terkesan sok ‘’kebarat-baratan’’, meski di Bali penyebutan traffic light lebih umum ketimbang Lampu Merah.
Belum ada survei, memang, mengapa lampu pengatur lalu lintas itu lebih terkenal sebagai Lampu Merah. Padahal, dengan hanya menyebut lampu merah, tanpa terasa orang sebenarnya telah melakukan diskriminasi atas lampu hijau dan kuning. Mengapa hanya merah? Bukankah ketiga lampu itu sederajat, punya hak dan otoritas hukum yang sama mewakili polisi mengatur lalu lintas?
Jawabnya bisa terserah Anda. Tapi, ini teori paling sederhana, bisa jadi setiap kali lampu merah menyala, setiap kali itu pula orang merasa tertekan dan dikalahkan: Mereka dipaksa berhenti, suka atau tidak, sedang terburu-buru atau banyak waktu. Ini pasti menimbulkan frustrasi, rasa diintimidasi, diteror, juga kejengkelan. Lambat laun menyublim di kepala mereka bahwa lampu merah begitu perkasa, sangat digjaya. Ia seperti Totem. Inilah yang menyebabkan orang jadi lebih awas kepada lampu merah ketimbang lampu kuning atau hijau. Makanya wajar jika lampu merah jadi lebih populer ketimbang lampu hijau atau lampu kuning. Layaknya hukum dalam banyak buku suci, ayat-ayat yang mengharamkan atau melarang pasti lebih lebih tegas dimuat dan sering dihafal ketimbang banyak ayat yang membolehkan.
Terlepas mana kemungkinan paling benar, hal terpenting tetap saja kesepakatan kita: Setiap kali lampu merah menyala, kita harus berhenti. Berurusan dengan Lampu Merah memang bisa sangat panjang, kadang berbelit-belit, bahkan menjengkelkan. Suatu malam, misalnya, sekitar pukul 23:00 lebih sedikit, saya pernah jengkel bukan main gara-gara Lampu Merah. Malam itu saya, ditemani isteri saya, dalam perjalanan pulang. Di Jl. T.B. Simatupang dekat gedung PP Plaza, tepatnya di pertigaan ke arah Jl. Condet Raya, Jakarta Timur, kami berhenti. Lampu merah menyala. Jalanan sepi.
Tiba-tiba isteri saya nyeletuk: ‘’Pa, kayaknya sepi. Jalan saja.’’
Saya diam saja. Bukan takut polisi, tapi berat buat saya mengkhianati kontrak sosial yang sudah kita sepakati bersama: lampu merah menyala kita harus berhenti, lampu hijau menyala kita boleh jalan, lampu kuning menyala kita harus hati-hati. Karena saya diam saja, sekali lagi isteri saya meminta saya melanggar Lampu Merah. Saya menoleh pelan ke arahnya. Saya jelaskan baik-baik bahwa berhenti ketika lampu merah menyala adalah wajib, ada atau tidak ada polisi, ramai atau sepi. Kesepakatan ini tak bisa ditawar. Sekali saja kita terbiasa menganggap remeh dengan melanggar hal-hal kecil, misalnya melanggar Lampu Merah ini, besok atau minggu depan kita akan mudah melanggar hal-hal besar – misalnya menggarong uang negara mumpung jadi pejabat. Saya ingat betul kalimat saya kepadanya waktu itu – mudah-mudahan isteri saya tersenyum teringat kembali kisah ini: ‘’Kalau bukan kita yang menghormati kesepakatan yang kita buat, siapa lagi yang akan menghormatinya, Ma?’’
Kami terdiam. Tapi, entah jengkel, entah kehabisan kalimat menyuruh saya melakukan ‘’dosa kecil’’, tak lama isteri saya berkata lagi sambil celingukan ke kanan ke kiri: ‘’Di sini banyak preman lho, Pa. Kemarin ada mobil diketok-ketok kacanya.’’
Saya paham, tapi juga jengkel. Bagaimana mungkin isteri saya sampai begitu gigih memaksa saya melakukan pelanggaran – kalau tak mau disebut dosa? Akhirnya, dengan sangat jengkel, juga rasa kalah karena tak mau ribut, saya siap-siap tancap gas. Tapi -- dan inilah pangkal bom pertengkaran malam itu -- begitu mobil baru saja bergerak, tiba-tiba saja lampu kuning menyala. Hah, itu tanda sebentar lagi lampu hijau menyala. Kontan saya naik pitam. Kalau saja sedetik bertahan, saya pasti tidak akan merasa kalah, tidak merasa diteror, tidak merasa dipaksa melanggar. Betul, ketika mobil kami bergerak, lampu hijau baru saja menyala. Kami sebenarnya terbebas dari hukum. Tapi nurani saya tak pernah bohong: dasar mobil itu bergerak bukanlah ketinggian moral saya menghormati kesepakatan, tapi justru hendak melanggarnya. Padahal, kalau saja isteri saya sabar sedikit, dan saya pandai mengelola situasi, pasti kami tetap terhormat. ‘’Kita enggak jadi binatang kayak sekarang,’’ kata saya dengan nada tinggi.
Lho, kok binatang? Apa hubungan melanggar Lampu Merah dengan binatang?
Itulah mengapa tadi saya katakan bom pertengkaran. Isteri saya tidak paham, dan karena itu tidak terima, saya menyebut kata binatang. Di satu sisi ia hanya ingin bersikap simpel, melanjutkan perjalanan meski lampu merah menyala. Toh jalanan sepi. Di sisi lain bisa jadi malam itu dia menganggap saya terlalu berlebihan. Bagaimana mungkin hanya melanggar lampu lalu-lintas orang harus dianggap binatang?
Maka jadilah, selama perjalanan, saya berceramah sedikit filosofis kepada isteri saya yang memilih diam. Mula-mula saya jelaskan kepadanya definisi dan perbedaan kata zhalim dan muttaqi. Kata zhalim adalah bentuk subjek dari kata kerja zhaluma, yazhlumu; yakni ‘meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya’. Orang disebut zhalim kalau ia meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Misalnya menaruh uang negara ke rekening pribadi, mematikan orang yang seharusnya hidup, minum racun (mestinya vitamin), berjalan ketika lampu merah menyala, atau justeru berhenti ketika lampu hijau menyala. Implementasi kezaliman terakhir ini bukan tak ada. Perhatikan sopir Metromini dan Kopaja di Ibukota. Seringkali mereka sengaja berhenti ketika lampu hijau menyala agar kendaraan-kendaraan pribadi di belakang mereka terhambat. Ini agar pesaing mereka, yakni Metromini atau Kopaja lain di belakang kendaraan-kendaraan pribadi itu, juga terhambat. Mereka baru tancap gas ketika lampu merah menyala, lalu berhenti persis di seberang perempatan jalan seraya memanen penumpang tanpa satu pun pesaing. Sesungguhnya, teramat luar biasa kecerdasan para sopir di Ibukota negara kita!
Definisi zhalim selalu diletakkan berhadap-hadapan dengan definisi muttaqi, atau orang yang bertakwa. Kata muttaqi adalah bentuk subjek dari kata kerja ittaqa, yattaqi; artinya ‘menjaga’ atau ‘memelihara’. Ketakawaan, dengan demikian, berarti ‘menjaga dan memelihara diri dari tindakan melanggar hukum alam atau sunnatullah.’ Akibat pelanggaran ini pelakunya dihukum karena menimbulkan chaos. Ayam selamanya bertelur, ular berganti kulit, pohon berbuah, air mengalir ke bawah, malam berganti siang, siang berganti malam, Bulan mengitari Bumi, Bumi mengitari Matahari dan seterusnya alam ini secara stabil mengatur diri mereka sendiri adalah bentuk ketakwaan mereka kepada Sang Pencipta. Dengarkanlah, betapa indah Tuhan melukiskannya: ‘’Hanya kepada Allahlah tunduk patuh segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri maupun terpaksa, dan (bahkan) bayang-bayang mereka pun (sujud patuh pula) di waktu pagi dan petang hari.’’ (QS Al-Ra’d: 15)
Toh, kemauan berbeda dengan keterpaksaan. Ketakwaan makhluk-makhluk tadi, yang ditunjukkan lewat konsistensi mereka memelihara diri dari melanggar hukum alam, sesusungguhnya adalah keterpaksaan. Mereka melakukan semua itu karena hukum alam memang mengharuskan mereka melakukannnya; jadi bukan kemauan mereka. Jika tidak, akan terjadi chaos di jagad raya ini. Sampai kiamat nanti Matahari dan Bulan konsisten pada garis edar dan porosnya masing-masing, pohon tidak beranak buaya, sebagaimana para malaikat konsisten dengan tugas dan peran masing-masing: Jibril menyampaikan wahyu, Izrail mencabut nyawa, Raqib – Atid mencatat amal, Israfil meniup sangkakala, begitu seterusnya tanpa pernah ada kolusi di antara mereka.
Namun harus dicatat, semua makhluk tadi, termasuk para malaikat, tak pernah melanggar sunnatullah karena mereka memang tak mampu melakukannya. Sejak awal mereka sudah didesain dan diformat seperti itu, tanpa dibekali alat, perangkat, esensi, atau apa pun namanya, yang membuat mereka bisa membantah perintah. Mereka tak ubahnya robot-robot. Kepatuhan serupa ini tidak membuat Allah puas. Keterpaksaan tidak membuat Zat Agung Mahasuci itu bisa berbangga kepada makhluk-makhluk-Nya sendiri. Apa yang bisa dibanggakan dari dari keterpaksaan?
Karena itu, untuk menguji adanya ketakwaan yang tulus dari makhluk-makhluk-Nya, yang muncul dari kesadaran sendiri, tanpa paksaan, dari sikap kagum dan takjub, Allah lalu sengaja menciptakan makhluk yang bisa berpikir dan bertindak bebas, dinamis, punya free will dan free act, dan karena itu mampu membantah setiap perintah-Nya. Hanya lewat makhluk sejenis inilah kehebatan Allah bisa teruji dan Dia bisa merealisasi obsesi-Nya sendiri ketika Ia berkata dalam suatu hadits qudsi: ‘’Dahulu Aku tak ubahnya benda berharga yang tersembunyi. Lalu Aku ingin diri-Ku dikenal. Maka Aku ciptakan makhluk-makhluk supaya mereka mengenal jatidiri-Ku.’’ Jika makhluk-makhluk ini masih saja sujud dan tunduk padahal mereka mampu membantah-Nya, tak ada kata lain kecuali bahwa kekaguman, ketakjuban, kepatuhan dan ketakwaan hanya untuk Dia – Sang Dzul jalali wal-ikram.
Kepada isteri saya waktu itu saya tegaskan, ‘’Makhluk yang sengaja dipersiapkan untuk membantah itu adalah kamu, saya, kita semua, umat manusia!’’
Nah, jika kita mematuhi lampu merah itu karena didasarkan ketakwaan pada Allah SWT demi terciptanya stabilitas di antara manusia, Allah akan bangga dengan kemanusiaan kita. Tapi jika Anda tetap dan terus melanggar peraturan lampu merah itu lalu terjadilah instabilitas di antara manusia, jangankan malaikat, binatang pun enggan melihat wajah Anda.
Entah mengapa ia disebut Lampu Merah. Padahal, di tiang itu juga tergantung lampu hijau dan kuning. Mungkin menyebut Lampu Rahjauning – kependekan dari Merah, Hijau dan Kuning – terasa berat buat masyarakat, meski sebagian masyarakat di Jawa Timur toh telah menyebut tiang yang sama sebagai Bangijo – kependekan dari kata abang (merah) dan ijo (hijau). Atau mungkin menyebut traffic light terasa dipaksakan, terkesan sok ‘’kebarat-baratan’’, meski di Bali penyebutan traffic light lebih umum ketimbang Lampu Merah.
Belum ada survei, memang, mengapa lampu pengatur lalu lintas itu lebih terkenal sebagai Lampu Merah. Padahal, dengan hanya menyebut lampu merah, tanpa terasa orang sebenarnya telah melakukan diskriminasi atas lampu hijau dan kuning. Mengapa hanya merah? Bukankah ketiga lampu itu sederajat, punya hak dan otoritas hukum yang sama mewakili polisi mengatur lalu lintas?
Jawabnya bisa terserah Anda. Tapi, ini teori paling sederhana, bisa jadi setiap kali lampu merah menyala, setiap kali itu pula orang merasa tertekan dan dikalahkan: Mereka dipaksa berhenti, suka atau tidak, sedang terburu-buru atau banyak waktu. Ini pasti menimbulkan frustrasi, rasa diintimidasi, diteror, juga kejengkelan. Lambat laun menyublim di kepala mereka bahwa lampu merah begitu perkasa, sangat digjaya. Ia seperti Totem. Inilah yang menyebabkan orang jadi lebih awas kepada lampu merah ketimbang lampu kuning atau hijau. Makanya wajar jika lampu merah jadi lebih populer ketimbang lampu hijau atau lampu kuning. Layaknya hukum dalam banyak buku suci, ayat-ayat yang mengharamkan atau melarang pasti lebih lebih tegas dimuat dan sering dihafal ketimbang banyak ayat yang membolehkan.
Terlepas mana kemungkinan paling benar, hal terpenting tetap saja kesepakatan kita: Setiap kali lampu merah menyala, kita harus berhenti. Berurusan dengan Lampu Merah memang bisa sangat panjang, kadang berbelit-belit, bahkan menjengkelkan. Suatu malam, misalnya, sekitar pukul 23:00 lebih sedikit, saya pernah jengkel bukan main gara-gara Lampu Merah. Malam itu saya, ditemani isteri saya, dalam perjalanan pulang. Di Jl. T.B. Simatupang dekat gedung PP Plaza, tepatnya di pertigaan ke arah Jl. Condet Raya, Jakarta Timur, kami berhenti. Lampu merah menyala. Jalanan sepi.
Tiba-tiba isteri saya nyeletuk: ‘’Pa, kayaknya sepi. Jalan saja.’’
Saya diam saja. Bukan takut polisi, tapi berat buat saya mengkhianati kontrak sosial yang sudah kita sepakati bersama: lampu merah menyala kita harus berhenti, lampu hijau menyala kita boleh jalan, lampu kuning menyala kita harus hati-hati. Karena saya diam saja, sekali lagi isteri saya meminta saya melanggar Lampu Merah. Saya menoleh pelan ke arahnya. Saya jelaskan baik-baik bahwa berhenti ketika lampu merah menyala adalah wajib, ada atau tidak ada polisi, ramai atau sepi. Kesepakatan ini tak bisa ditawar. Sekali saja kita terbiasa menganggap remeh dengan melanggar hal-hal kecil, misalnya melanggar Lampu Merah ini, besok atau minggu depan kita akan mudah melanggar hal-hal besar – misalnya menggarong uang negara mumpung jadi pejabat. Saya ingat betul kalimat saya kepadanya waktu itu – mudah-mudahan isteri saya tersenyum teringat kembali kisah ini: ‘’Kalau bukan kita yang menghormati kesepakatan yang kita buat, siapa lagi yang akan menghormatinya, Ma?’’
Kami terdiam. Tapi, entah jengkel, entah kehabisan kalimat menyuruh saya melakukan ‘’dosa kecil’’, tak lama isteri saya berkata lagi sambil celingukan ke kanan ke kiri: ‘’Di sini banyak preman lho, Pa. Kemarin ada mobil diketok-ketok kacanya.’’
Saya paham, tapi juga jengkel. Bagaimana mungkin isteri saya sampai begitu gigih memaksa saya melakukan pelanggaran – kalau tak mau disebut dosa? Akhirnya, dengan sangat jengkel, juga rasa kalah karena tak mau ribut, saya siap-siap tancap gas. Tapi -- dan inilah pangkal bom pertengkaran malam itu -- begitu mobil baru saja bergerak, tiba-tiba saja lampu kuning menyala. Hah, itu tanda sebentar lagi lampu hijau menyala. Kontan saya naik pitam. Kalau saja sedetik bertahan, saya pasti tidak akan merasa kalah, tidak merasa diteror, tidak merasa dipaksa melanggar. Betul, ketika mobil kami bergerak, lampu hijau baru saja menyala. Kami sebenarnya terbebas dari hukum. Tapi nurani saya tak pernah bohong: dasar mobil itu bergerak bukanlah ketinggian moral saya menghormati kesepakatan, tapi justru hendak melanggarnya. Padahal, kalau saja isteri saya sabar sedikit, dan saya pandai mengelola situasi, pasti kami tetap terhormat. ‘’Kita enggak jadi binatang kayak sekarang,’’ kata saya dengan nada tinggi.
Lho, kok binatang? Apa hubungan melanggar Lampu Merah dengan binatang?
Itulah mengapa tadi saya katakan bom pertengkaran. Isteri saya tidak paham, dan karena itu tidak terima, saya menyebut kata binatang. Di satu sisi ia hanya ingin bersikap simpel, melanjutkan perjalanan meski lampu merah menyala. Toh jalanan sepi. Di sisi lain bisa jadi malam itu dia menganggap saya terlalu berlebihan. Bagaimana mungkin hanya melanggar lampu lalu-lintas orang harus dianggap binatang?
Maka jadilah, selama perjalanan, saya berceramah sedikit filosofis kepada isteri saya yang memilih diam. Mula-mula saya jelaskan kepadanya definisi dan perbedaan kata zhalim dan muttaqi. Kata zhalim adalah bentuk subjek dari kata kerja zhaluma, yazhlumu; yakni ‘meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya’. Orang disebut zhalim kalau ia meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Misalnya menaruh uang negara ke rekening pribadi, mematikan orang yang seharusnya hidup, minum racun (mestinya vitamin), berjalan ketika lampu merah menyala, atau justeru berhenti ketika lampu hijau menyala. Implementasi kezaliman terakhir ini bukan tak ada. Perhatikan sopir Metromini dan Kopaja di Ibukota. Seringkali mereka sengaja berhenti ketika lampu hijau menyala agar kendaraan-kendaraan pribadi di belakang mereka terhambat. Ini agar pesaing mereka, yakni Metromini atau Kopaja lain di belakang kendaraan-kendaraan pribadi itu, juga terhambat. Mereka baru tancap gas ketika lampu merah menyala, lalu berhenti persis di seberang perempatan jalan seraya memanen penumpang tanpa satu pun pesaing. Sesungguhnya, teramat luar biasa kecerdasan para sopir di Ibukota negara kita!
Definisi zhalim selalu diletakkan berhadap-hadapan dengan definisi muttaqi, atau orang yang bertakwa. Kata muttaqi adalah bentuk subjek dari kata kerja ittaqa, yattaqi; artinya ‘menjaga’ atau ‘memelihara’. Ketakawaan, dengan demikian, berarti ‘menjaga dan memelihara diri dari tindakan melanggar hukum alam atau sunnatullah.’ Akibat pelanggaran ini pelakunya dihukum karena menimbulkan chaos. Ayam selamanya bertelur, ular berganti kulit, pohon berbuah, air mengalir ke bawah, malam berganti siang, siang berganti malam, Bulan mengitari Bumi, Bumi mengitari Matahari dan seterusnya alam ini secara stabil mengatur diri mereka sendiri adalah bentuk ketakwaan mereka kepada Sang Pencipta. Dengarkanlah, betapa indah Tuhan melukiskannya: ‘’Hanya kepada Allahlah tunduk patuh segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri maupun terpaksa, dan (bahkan) bayang-bayang mereka pun (sujud patuh pula) di waktu pagi dan petang hari.’’ (QS Al-Ra’d: 15)
Toh, kemauan berbeda dengan keterpaksaan. Ketakwaan makhluk-makhluk tadi, yang ditunjukkan lewat konsistensi mereka memelihara diri dari melanggar hukum alam, sesusungguhnya adalah keterpaksaan. Mereka melakukan semua itu karena hukum alam memang mengharuskan mereka melakukannnya; jadi bukan kemauan mereka. Jika tidak, akan terjadi chaos di jagad raya ini. Sampai kiamat nanti Matahari dan Bulan konsisten pada garis edar dan porosnya masing-masing, pohon tidak beranak buaya, sebagaimana para malaikat konsisten dengan tugas dan peran masing-masing: Jibril menyampaikan wahyu, Izrail mencabut nyawa, Raqib – Atid mencatat amal, Israfil meniup sangkakala, begitu seterusnya tanpa pernah ada kolusi di antara mereka.
Namun harus dicatat, semua makhluk tadi, termasuk para malaikat, tak pernah melanggar sunnatullah karena mereka memang tak mampu melakukannya. Sejak awal mereka sudah didesain dan diformat seperti itu, tanpa dibekali alat, perangkat, esensi, atau apa pun namanya, yang membuat mereka bisa membantah perintah. Mereka tak ubahnya robot-robot. Kepatuhan serupa ini tidak membuat Allah puas. Keterpaksaan tidak membuat Zat Agung Mahasuci itu bisa berbangga kepada makhluk-makhluk-Nya sendiri. Apa yang bisa dibanggakan dari dari keterpaksaan?
Karena itu, untuk menguji adanya ketakwaan yang tulus dari makhluk-makhluk-Nya, yang muncul dari kesadaran sendiri, tanpa paksaan, dari sikap kagum dan takjub, Allah lalu sengaja menciptakan makhluk yang bisa berpikir dan bertindak bebas, dinamis, punya free will dan free act, dan karena itu mampu membantah setiap perintah-Nya. Hanya lewat makhluk sejenis inilah kehebatan Allah bisa teruji dan Dia bisa merealisasi obsesi-Nya sendiri ketika Ia berkata dalam suatu hadits qudsi: ‘’Dahulu Aku tak ubahnya benda berharga yang tersembunyi. Lalu Aku ingin diri-Ku dikenal. Maka Aku ciptakan makhluk-makhluk supaya mereka mengenal jatidiri-Ku.’’ Jika makhluk-makhluk ini masih saja sujud dan tunduk padahal mereka mampu membantah-Nya, tak ada kata lain kecuali bahwa kekaguman, ketakjuban, kepatuhan dan ketakwaan hanya untuk Dia – Sang Dzul jalali wal-ikram.
Kepada isteri saya waktu itu saya tegaskan, ‘’Makhluk yang sengaja dipersiapkan untuk membantah itu adalah kamu, saya, kita semua, umat manusia!’’
Nah, jika kita mematuhi lampu merah itu karena didasarkan ketakwaan pada Allah SWT demi terciptanya stabilitas di antara manusia, Allah akan bangga dengan kemanusiaan kita. Tapi jika Anda tetap dan terus melanggar peraturan lampu merah itu lalu terjadilah instabilitas di antara manusia, jangankan malaikat, binatang pun enggan melihat wajah Anda.
Hamka dan Pluralisme di Indonesia
Oleh: Helmi Hidayat
Menyambut 100 tahun Buya Hamka (1908 – 2008), Yayasan al-Azhar menggelar Dialog Terbuka pada 7 April 2008. Acara ini meriah karena sejumlah ulama asal Malaysia dan Mesir diundang untuk membahas pemikiran tokoh modernis bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amarullah ini.
Jauh sebelum acara itu digelar, panitia menggelar acara yang tak kalah menarik – sebuah tablig akbar di Jakarta yang digelar Jumat (15/02/08). Dalam spanduk tertulis bahwa panitia mengundang para pembicara berkaliber nasional, mulai dari Prof. Dr. H. Didin Hafidhuddin dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), KH Cholil Ridwan dari Majlis Ulama Indonesia (MUI), Syuhada Bachri Lc dari Dewan Dakwah dan Habib Rizieq Shihab, ketua Front Pembela Islam (FPI).
Perhelatan ‘’100 Tahun Buya Hamka’’ dengan serentet agenda acaranya ini layak mendapat catatan tersendiri. Di tengah mengentalnya kembali politik aliran di era reformasi kali ini, yang ditandai dengan lahirnya banyak partai politik berasaskan agama serta mengerasnya fundamentalisme beragama di beberapa daerah di Indonesia, sungguh menarik sebuah tablig akbar dan dialog terbuka berkelas internasional tentang seorang tokoh pluralis dan inklusif sekaliber Hamka digelar. Apalagi tokoh-tokoh yang diundang berbicara dalam tablig akbar itu pun bukan orang sembarangan dan berasal dari institusi atau organisasi terpandang pula.
Tentu bukan tanpa maksud ketika panitia memilih tema yang simpatik untuk perhelatan ini -- mengenal pribadi lembut berkarakter, sosok halus berprinsip, tokoh modernis kharismatik – sementara di sisi lain mengundang tokoh-tokoh dengan karakteristik yang khas untuk menjadi pembicara. Banyak fenomena bisa dikaji dari acara itu, sebanyak hal menarik yang juga muncul. Misalnya menarik untuk mengkaji bagaimana Habib Rizieq Shihab, yang corak dan haluan pemikirannya tentang keislaman bisa ditebak dari nama organisasi yang dipimpinnya itu, berbicara tentang sosok Hamka yang metropolis, pluralis dan inklusif.
Demikianlah, lewat perhelatan seabad Hamka kali ini, kita sesungguhnya tengah menggenggam kesempatan emas untuk menghangatkan kembali wacana inklusivisme dan pluralisme dalam Islam, seperti yang dulu pernah diperjuangkan tokoh karismatik ini.
Hamka Tokoh pluralisme
Hamka adalah tokoh Islam modernis yang melewati zamannya dalam menafsirkan konsep kenegaraan dan kebangsaan dalam perspektif Islam. Disebut melampaui zamannya karena bahkan hingga saat ini pun, tafsirnya tentang pluralisme dan insklusivisme dalam Islam yang ditulisnya dalam Tafsir al-Azhar tetap mengundang kontroversi. Padahal, ia mulai menulis buku tafsir yang berjilid-jilid itu sejak 1967, ketika usia Indonesia masih sangat belia dan masyarakatnya terkotak-kotak dalam beragam politik aliran.
Betapa Hamka sangat mendukung pluralisme yang dibutuhkan masyarakat Indonesia ini bisa dilihat dari caranya menafsirkan QS al-Baqarah: 62. Terjemahan ayat ini, yang menjadi salah satu pendukung wacana pluralisme dalam Islam dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat bahkan sejak zaman para sahabat, berbunyi: ‘’Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani dan orang-orang Shabi’in yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.’’
Saat menafsirkan ayat ini, dalam Tafsir al-Azhar jilid I – II, terbitan Pustaka Panjimas, Jakarta, 1982, edisi revisi Maret 2004, secara mencengangkan Hamka menulis di halaman 263: ‘’Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merek apa yang diletakkan kepada mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu.’’
Hamka secara eksplisit melihat ayat di atas sebagai firman Allah SWT yang mempersatukan agama-agama dan karena itu tidak ada alasan sama sekali orang saling bertikai atas nama agama. Kata kunci yang menjadi syarat mutlak dalam hidup bersama itu adalah beriman kepada Allah dan Hari Pembalasan. Selagi orang beriman kepada kedua hal itu, entah dia Muslim, Nashrani, Yahudi maupun Shabi’in dan imannya tadi diejawantahkan dalam bentuk amal shalih, maka pelakunya akan mendapat pahala di sisi Allah. Dia mencontohkan Abdullah bin Salam dan Ubai bin Ka’ab dari kalangan Yahudi, serta Tamim ad-Dari, Adi bin Hatim dan Kaisar Habsyi dari kalangan Nashrani sebagai contoh orang-orang yang beriman pada Allah dan Hari Pembalasan serta beramal shalih dan karenanya mendapat ganjaran pahala sesuai bunyi QS al-Baqarah: 62 tadi (hal. 266).
Tidak semua orang, tentu saja, setuju dengan tafsir serupa itu. Berbekal QS Ali Imran 85 -- yang artinya berbunyi ‘’barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi’’ – banyak kalangan Islam berpendapat bahwa hanya Islamlah satu-satunya agama yang benar dan diterima Allah SWT seraya menolak agama lain. Bahkan sejak zaman sahabat pun, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, bersandar dari penjelasan Ibnu Abbas, demi mempertahankan pendapat serupa itu menyatakan bahwa QS al-Baqarah: 62 telah dihapus (mansyukh) oleh QS Ali Imran 85.
Namun demikian, demi mempertahankan pendapatnya tentang keniscayaan pluralisme dalam Islam, secara luar biasa Hamka menolak tafsiran ketiga sahabat itu. Dia berpegang pada hadits Nabi saat menjawab pertanyaan Salam al-Farisi, keturunan Persia yang masuk Islam, tentang bagaimana nasib orangtua dan kerabatnya yang belum sempat masuk Islam. Nabi kemudian menjawab pertanyaan itu seraya membacakan QS al-Baqarah: 62 tadi (hal. 270 – 271).
Peran tokoh agama
Di tengah merebaknya politik aliran, fundamentalisme beragama, bahkan pembantaian umat manusia atas nama agama seperti yang terjadi di Poso, Ambon, dan beberapa tempat lain di Tanah Air tercinta, tulisan ini hanya ingin mengingatkan kembali pentingnya hidup berdampingan di tengah fakta multikulturalisme yang tumbuh subur di Indonesia. Hamka telah memulainya sejak 41 tahun silam dan kini menjadi kewajiban kitalah untuk melaksanakan warisan ilmunya yang dalam itu demi mengatasi keragaman dan mewujudkan kedamaian hidup berbangsa dan bernegara.
Kiai besar yang banyak merantau dan berdialog dengan tokoh-tokoh besar semacam HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansur, A. Hassan atau M. Natsir ini memberi wasiat dalam tafsirnya itu betapa penting menunjukkan sikap saling mengerti dan menghormati sesama anak bangsa, apa pun label kelompok dan agama yang mereka anut. Dalam konteks ini, Hamka sangat berharap tokoh-tokoh agama berperan besar dalam menyuburkan semangat toleransi yang terkandung dalam al-Qur’an al-Karim.
‘’Kita tidak akan bertemu suatu ayat yang begini penuh daya toleransi dan lapang dada, hanyalah dalam al-Qur’an!’’ tulis Hamka di halaman 267 – 268 Tafsir al-Azhar yang dikarangnya. ‘’Suatu hal yang amat perlu dalam dunia modern. Kalau nafsu loba manusia di jaman modern telah menyebabkan timbul perang-perang besar dan senjata-senjata pemusnah, maka kaum agama hendaklah mencipta kepada Allah dan Hari Akhirat, serta melestarikannya dengan amal yang shalih. Bukan amal merusak.’’
Perhelatan ‘’100 Tahun Buya Hamka’’ telah berjalan mulus sesuai rencana. Dari situ kita berharap lahir sikap-sikap bijak para pemuka agama yang berdialog di dalamnya, sebijak butir-butir tafsir Buya Hamka.
Jakarta, medio April 2008
Langganan:
Postingan (Atom)