Laman

Selasa, 09 Desember 2008

Konsep Takwa Sebagai Platform Membangun Kebangsaan


Oleh: Drs. Helmi Hidayat, MA

(Khutbah ini disampaikan pada hari raya Iedul Fitri 1429 H/2008 M di hadapan jamaah PDI Perjuangan dan Baitul Muslimin Indonesia di halaman parkir DPP PDI Perjuangan, Jl. Lenteng Agung 99, Jakarta Selatan. Diizinkan untuk mengcopy sebagian atau seluruhnya untuk dijadikan bahan khutbah di mana pun, agar menjadi 'ilmun yuntafau' bihi buat saya.)



Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Saudara-saudaraku, sidang shalat Iedul Fitri yang berbahagia


Sejak fajar menyingsing di pagi hari ini, kita mendengar suara takbir tanda kebesaran Allah SWT bergema di mana-mana. Gema takbir ini menjadi tanda berakhirnya Ramadan, bulan suci yang menjadi kawah Candradimuka bagi umat Islam di seluruh dunia. Untuk menyambut datangnya hari raya Iedul Fitri ini, kita disunatkan shalat dua rakaat berjamaah. Shalat sunat itu baru saja kita laksanakan bersama. Marilah kita memohon semoga shalat yang baru saja kita laksanakan ini bukan saja diterima oleh Allah SWT, tapi juga membawa keberkahan hidup, ketentraman jiwa, dan khutbah yang akan disampaikan pun menjadi obor penerang batin kita yang gelap akibat modernisme yang terus berkembang. Karena itu, penting khatib peringatkan lewat podium ini bahwa mendengar khutbah, baik setelah shalat Idul Fitri maupun Idul Adha, adalah bagian dari rukun shalat Ied. Jangan pulang atau membubarkan diri sebelum khatib menyelesaikan khutbahnya. Menurut syariah yang ada, shalat Ied seseorang tidak sempurna jika ia tidak mendengarkan khutbah Ied sampai selesai.

Mulai hari ini kita menjalani iedul fitri, kembali kepada fitrah kita sebagai manusia normal, setelah sebulan lalu kita tak ubahnya malaikat yang berjalan di muka bumi: kita tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan badan dengan pasangan sah kita di siang hari, padahal semua itu Allah halalkan di 11 bulan di luar Ramadan. Tentu saja Allah punya maksud dan tujuan. Salah satunya adalah agar setiap Mu’min yang menjalani ibadah puasa itu menjadi orang-orang yang bertakwa, yang dengan katakwaan itu seluruh umat manusia – bukan cuma umat Islam yang berpuasa -- jadi lebih sejahtera, aman dan tenteram hidup berdampingan.

Maksud dan tujuan Allah itu bukanlah hal yang utopis dan ideal. Kalaupun kini maksud dan tujuan itu masih jauh dari harapan, masih terkesan ideal, itu karena setiap Mu’min yang menjalankan ibadah puasa belum sepenuhnya menangkap, meresapi, untuk kemudian mengimplementasikan konsep dan makna taqwa secara benar. Padahal, jika konsep dan makna taqwa diresapi dan diimplementasikan secara benar, bukan tidak mungkin kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman umat manusia yang hidup berdampingan dengan segala perbedaannya itu akan terwujud.

Kata taqwa (التَّقْوَى) adalah bahasa Arab. Dalam banyak ayat al-Qur’an, kata ini kerap diperhadapkan secara bertentangan dengan kata zhulm (الظُّلْمُ). Orang yang tidak bertakwa, menurut al-Quran, bisa dipastikan sebagai orang yang zalim. Kamus bahasa Arab, al-Munjid, menerjemahkan kata zhulm sebagai wadh’u al-syai’i fii ghairi mahallihi (وَضْعُ الشَّيْءِ فِي غَيْرِ مَحَلِّهِ) - meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dari sini bisa disimpulkan, orang bertakwa adalah mereka yang selama ini meletakkan sesuatu pada tempatnya, sebaliknya orang yang zalim adalah mereka yang selalu meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Dengan pengertian sederhana ini kita bisa merenung ternyata, baik secara sadar maupun tidak sadar, sering sekali kita melakukan kezaliman demi kezaliman dalam keseharian kita. Sebagai contoh sederhana, lihatlah betapa sering kita melanggar peraturan lampu lalu-lintas. Jika kita telah bersepakat bahwa jika lampu merah menyala kita harus berhenti, maka berhentilah. Jika tetap menerobos lampu merah yang menyala itu, kita telah bersikap zalim karena kita tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya. Jika kita mengelola uang kantor atau uang negara, masukkanlah uang itu ke rekening kantor atau ke rekening negara. Jika kita memasukkan uang itu ke kantong kita, atau ke rekening kita, berarti kita tidak pandai meletakkan sesuatu pada tempatnya alias zalim. Jika Anda ingin membuang sampah, buanglah sampah pada tempatnya; jangan buang ke kali. Jakarta kerap dilanda banjir karena banyak warganya bertindak zalim, tak pandai meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berbondong-bondong membuang sampah ke kali atau saluran air lainnya. Nah, jika kita sudah beristri, ’’datangilah’’ istri kita dengan penuh mesra, mawaddah wa rahmah. Ini adalah ibadah paling gampang sekaligus kenikmatan dari Allah SWT. Jika kita ’’mendatangi’’ istri orang padahal kita sudah punya istri, itu namanya salah tempat. Jika kita gemar ’’mendatangi’’ pelacur jalanan padahal kita sudah punya istri, itu namanya kita perlu belajar lagi meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam bahasa Arab kita disebut zalim, sementara al-Quran mengecam kita dengan sebutan orang-orang yang tidak bertakwa.

Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Saudara-saudaraku, sidang shalat Iedul Fitri yang berbahagia

Di mata Allah SWT, konsep dan makna takwa ini punya implikasi hebat. Terhadap individu-individu yang konsisten menjaga takwanya, Allah berjanji dalam QS Ali Imran (3): 15 – 17 akan menganugerahkan surga-Nya yang luas, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai jernih, di samping istri-istri yang suci serta ridla Tuhan yang tiada batas. Sementara terhadap suatu bangsa yang konsisten dan terorganisasi menjaga takwa mereka, Allah berjanji akan menggelontorkan seluruh keberkahan-Nya kepada bangsa itu dari segala penjuru, tanpa jeda, tanpa henti. Namun, harap diingat, pada ayat yang sama pula Allah mengancam tak segan merampas dan meluluhlantakkan semua yang pernah dibangun anak negeri itu jika mereka tidak bertakwa, tak pandai meletakkan sesuatu pada tempatnya, alias gemar berbuat kezaliman dan dosa. Renungkan baik-baik janji sekaligus ancaman Allah SWT dalam QS al-A’raaf (7): 96 berikut ini:


وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (الأعراف :
96)

''Jikalau sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka kami rampas apa yang selama ini telah mereka bangun akibat perbuatan dosa mereka itu.''

Di hari pertama kita menjalani Iedul Fitri ini, ada baiknya konsep dan makna takwa yang menjadi tujuan Allah mewajibkan kita berpuasa selama Ramadan lalu itu diingatkan kembali, agar dalam 11 bulan ke depan selepas Ramadan, kita tak kehilangan kendali diri, baik sebagai individu-individu maupun secara kolektif sebagai anak bangsa. Cukuplah apa yang menimpa bangsa kita dalam satu dasawarsa terakhir ini – mulai dari krisis ekonomi, krisis politik, krisis moral sampai bencana alam yang seolah tanpa henti menghantam negeri ini -- menjadi cambuk peringatan buat kita bersama, bahwa jangan-jangan sebagai sebuah bangsa, kita memang perlu belajar lagi meletakkan sesuatu pada tempatnya. Jangan-jangan Allah marah pada kita dan karena itu hanya penderitaan demi penderitaan yang Dia kirim kepada bangsa ini dalam satu dasawarsa terakhir.

Karena itu, marilah kita jadikan Iedul Fitri yang kita rayakan setiap tahun, khususnya Iedul Fitri 1429 Hijriah yang kita rayakan tahun ini, sebagai momentum mengevaluasi diri dengan mengingat kembali sejarah Rasulullah SAW, baik sejarah Muhammad sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin bangsa. Lebih dari 14 abad lalu, lelaki agung dari tanah Arab ini telah memberi tauladan kepada dunia bagaimana membentuk individu yang berintegritas tinggi dan membangun bangsa yang beradab, dengan menjaga ketakwaan pribadi dan kolektif secara konsisten dan terorganisasi. Momentum evaluasi diri ini menjadi penting mengingat tahun depan, kita sebagai sebuah bangsa yang besar akan menyelenggarakan pemilihan umum yang di dalamnya segelintir orang bakal dipilih sebagai para wakil rakyat dan pimpinan negara. Jika dalam momen yang singkat dan strategis itu kita salah dalam memilih, lalu segelintir orang yang kadung kita pilih itu justru menjadi para pendosa yang mengkhianati tujuan luhur kita dalam membangun bangsa dan negara, Allah SWT jadi punya alasan lain untuk menjatuhkan vonis-Nya menghancurkan kita selumat-lumatnya sebagai sebuah negara-bangsa. Peringatan ini dengan tegas disampaikan Allah SWT dalam firman-Nya dalam QS Al-Israa’ (17): 16:


وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
(الاسراء : 16)


''Dan jika Kami hendak menghancurkan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada para elit politik negeri itu yang hidup bermewah-mewah (untuk bertakwa kepada Allah), tetapi mereka justru menebarkan dosa dalam negeri itu, maka jatuhlah vonis Kami atas mereka lalu kami hancurkan negeri itu selumat-lumatnya.''

Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Saudara-saudaraku, sidang shalat Iedul Fitri yang berbahagia

Sejarah dunia hingga kini mencatat bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah pribadi yang dapat dipercaya (al-amiin) dan memegang amanat (amanah), baik sebelum maupun sesudah kenabian. Banyak hal bisa dicontoh darinya, baik Muhammad sebagai pribadi, Muhammad sebagai kepala rumah tangga, Muhammad sebagai mitra bisnis, maupun Muhammad sebagai pemimpin tertinggi sebuah negeri baru bernama ‘’al-Madinah al-Munawwarah’’.

Sejarah al-Madinah al-Munawwarah pada periode pertama berdirinya adalah sejarah yang penuh dengan contoh terbaik tentang kepemimpinan seorang kepala negara yang egaliter, tentang berdirinya sebuah entitas negara-bangsa yang berkedaulatan tinggi, tentang warga negara yang taat hukum dan karenanya beperadaban cemerlang (munawwarah), tentang nasionalisme dan patriotisme yang dijaga ketat keutuhannya, juga tentang elit politik (mutrofin) yang saling nasehat-menasehati dengan wong cilik (mustadhafin) seputar pentingnya bertakwa pada Allah sebagai fondasi yang kokoh berdirinya sebuah negara-bangsa. Pendek kata, profil al-Madinah al-Munawwarah saat itu, yang berarti ‘’Peradaban yang Terang Benderang’’, harus kita contoh untuk membangun peradaban gemilang di negeri bernama Republik Indonesia yang tengah mencari bentuknya yang ideal ini.

Mirip Indonesia yang terdiri atas banyak suku, agama, ras dan golongan, al-Madinah al-Munawwarah yang awalnya adalah sebuah distrik kecil bernama Yatsrib ini pun dihuni beragam suku dan penganut agama. Saat Rasulullah Muhammad SAW diminta untuk memimpin negeri ini, di sana telah menetap banyak suku, dengan dua sukunya yang dominan: Aus dan Khadraj. Mereka juga menganut beragam agama, dengan penganut Yahudi dan Nasrani tampil sebagai dua kelompok penganut agama yang secara politik sangat berpengaruh. Di luar semua itu, Nabi SAW pun masih harus menghadapi persoalan sosial yang tak kalah kompleks, berinteraksinya kaum Anshar dan kaum Muhajirun.

Sungguh, ini adalah sebuah eksperimentasi yang berisiko dalam membangun sebuah nasionalisme baru di sebuah negara yang juga baru. Untuk itu, hal pertama yang dilakukan tokoh agung ini selaku pemimpin spiritual sekaligus sosial adalah membuat undang-undang dasar (UUD) yang menjadi pegangan hidup bersama, yang lebih dikenal sebagai Piagam Madinah (kepada para jamaah yang memegang copy khutbah ini bisa melihat lampiran dan mempelajari teks piagam ini di rumah masing-masing). UUD ini, antara lain, memuat perjanjian bersama bahwa mereka yang tinggal di Yatsrib adalah bersaudara, dengan status sosial dan hukum yang setara, meski mereka datang dari latang belakang agama dan suku yang berbeda-beda.

Demi membangun nasionalisme yang kuat, lewat Piagam Madinah itu mereka diminta berjanji untuk senantiasa kompak dan bersatu saling melindungi setiap kali musuh datang menyerang. Tidak nantinya mereka yang tinggal di Yatsrib itu diserang atau diintimidasi hanya karena mereka menganut Yahudi atau Nashrani, atau karena berdarah Aus atau Khadraj. Mereka yang diserang dan dihukum adalah pihak-pihak yang nyata-nyata berkhianat terhadap perjanjian yang mereka sepakati bersama. Berkhianat pada perjanjian berarti mengkhianati nasionalisme yang pertumbuhannya saat itu tengah dirawat dan dijaga.

Karena itu, ketika ada sekelompok Arab Muslim – bukan Yahudi atau Nashrani -- memutuskan meninggalkan Madinah, padahal sebelumnya mereka telah terikat dengan isi perjanjian Piagam Madinah, umat Islam saat itu terpecah dua: pihak pertama berpendapat mereka masih menjadi Muslim yang harus dirangkul, pihak kedua berpendapat mereka adalah kaum munafik yang boleh diperangi. Atas persengketaan ini, Allah SWT mengajari Rasul-Nya untuk bertindak tegas, bahkan mencela umat Islam yang bersikap plin-plan dengan memerintahkan mereka agar menawan dan membunuh semua Arab Muslim yang mengkhianati nasionalisme Madinah itu. Perintah tegas dari Allah SWT itu diabadikan oleh Al-Qur’an dalam Surat An-Nissa (4) ayat 89:


فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا
(النساء : 89)


‘’ ... Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemui mereka, dan jangan kamu rekrut seorang pun di antara mereka (yang tidak nasionalis itu) menjadi pelindung dan jangan (pula) menjadi penolong.’’

Hadirin dan hadirat sidang shalat Iedul Fitri yang dirahmati Allah SWT, mengapa Allah memerintahkan agar diambil tindakan tegas terhadap para pembelot Madinah itu kendati mereka kaum Muslim? Jawabannya singkat: segala bentuk separatisme harus ditumpas. Sekali saja satu gerakan separatisme ditoleransi, besok muncul dua atau tiga gerakan separatisme serupa. Sekali saja dua atau tiga gerakan separatisme didiamkan, besok atau lusa lunturlah nasionalisme yang dengan susah payah tengah dipupuk, dan pada gilirannya bubarlah sebuah negara yang tengah dibangun!


Kisah bibit separatisme di Madinah yang diabadikan oleh al-Quran ini hendaknya menjadi inspirasi dan pelajaran berharga buat para pengelola Republik Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negeri yang besar, yang panjangnya dari Sabang sampai Merauke setara dengan panjang antara London di Inggris sampai Teheran di Iran. Ini adalah negeri yang subur dan kaya sumberdaya alam, yang kelahirannya mengorbankan jutaan nyawa para pahlawan. Karena itu, keutuhan negeri ini harus dijadikan harga mati yang tak dapat ditawar. Separatisme harus ditolak bukan karena kita tamak dan rakus ingin menguasai tanah dan lautan yang luas ini dalam satu genggaman, namun lebih karena disintegrasi suatu negara-bangsa, di mana pun dan kapan pun itu terjadi, selalu saja membuahkan tragedi kemanusiaan yang memilukan: pertumpahan darah sesama anak bangsa, perang saudara berkepanjangan, permusuhan turun-temurun, bahkan dendam kesumat yang harus selalu terbalaskan. Lihat Yugoslavia! Sekali lagi lihatlah Yugoslavia! Bekas negara besar itu kini terbelah menjadi tujuh negara berbasis bangsa: Serbia, Kroasia, Bosnia, Montenegro, Macedonia, Slovenia dan Kosovo. Di sana banyak darah tumpah sejak negara itu terbelah-belah secara mengenaskan, banyak nyawa melayang sejak nasionalisme di antara anak bangsanya luntur, banyak tragedi kemanusiaan yang membuat kita tersedak menyaksikannya sejak persaudaraan atas dasar kebangsaan tak lagi jadi objek pertaruhan.

Tentu kita tidak mau tragedi Yugoslavia menimpa Indonesia. Negeri ini harus terus berdiri kokoh buat kesejahteraan anak-cucu kita. Esok atau lusa mungkin saya menghadap Allah untuk selamanya, bulan depan atau tahun depan mungkin giliran Anda dipanggil Tuhan, Dzat Mahaagung yang kepada-Nya segala sesuatu kembali. Kita semua pasti mati. Tapi, anak-anak kita, cucu-cucu kita, cicit-cicit kita, anak-anak cicit kita, keturunan biologis dan spiritual kita akan terus melanjutkan kehidupan dan jejak langkah kita di negeri ini dari generasi ke generasi, entah sampai 1000 – 2000 tahun ke depan, atau 2000 – 10.000 tahun ke depan.

Hadirin dan hadirat sekalian, merekalah yang akan mendoakan kita jika kita wafat nanti. Jika cikal bakal anak-anak negeri ini hidup dalam kondisi perang, jangankan doa buat kita yang segera wafat ini bisa mereka lakukan, bahkan menghadapi hidup buat diri sendiri pun berat mereka jalankan. Ya Allah, selamatkan negeri besar ini dari bencana perpecahan, jauhkan para anak bangsanya dari perang saudara yang menyengsarakan, sesungguhnya Engkau adalah Tuhan yang Rahman, Tuhan yang penuh kasih-sayang ....

Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Saudara-saudaraku, sidang shalat Iedul Fitri yang berbahagia

Mari kita kembali kepada sejarah Rasulullah SAW untuk kita pelajari kisah baiknya demi membangun platform kebangsaan kita di masa depan. Penting dicatat bahwa dalam Piagam Madinah yang monumental dan historis itu, tak satu pun kata ‘’Islam’’ termuat di dalamnya. Namun demikian, beragam penelitian sejarah membuktikan bahwa kendati kata ‘’Islam’’ tidak termuat dalam piagam itu, tapi nilai-nalai Islami bersemai dan hidup subur dalam berbagai interaksi sosial di negeri baru itu. Lewat eksistensi piagam bersejarah inilah kita bisa melihat bagaimana sebuah peradaban baru telah dibangun, di mana mereka yang mayoritas melindungi minoritas, mereka yang minoritas menghormati mayoritas, semua saling bahu-membahu membina nasionalisme dan membangun negeri baru bernama Yatsrib. Saat itu, Islam benar-benar tampil sebagai agama yang menyelamatkan kelompok lain, bukan justru mencederai kelompok lain.

Agar nasionalisme yang baru tumbuh di Madinah itu tak tercederai, Rasulullah SAW selalu tampil sebagai pemimpin yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Tanpa supremasi hukum dijunjung tinggi, mustahil trust dari warga negara terhadap aparatur penyelenggara negara akan tumbuh. Karena itu, sejak awal di Madinah egalitarianisme disuburkan. Hukum ditampilkan sebagai panglima tertinggi. Antara pemimpin dan yang dipimpin punya hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Sebagai panglima, hukum di Madinah tidak membedakan ras atau golongan, suku atau agama. Semua anak bangsa diperlakukan sama dan sederajat. Ada tiga contoh menarik yang perlu dikemukakan dalam khutbah yang terbatas ini. Contoh pertama hukum dengan tegas diterapkan atas Thu’mah, contoh kedua hukum diterapkan atas Aisayh RA isteri Rasulullah SAW, dan contoh ketiga hukum ditegakkan atas diri Nabi Muhammad SAW sendiri.

Contoh pertama berkisah tentang Thu’mah. Lelaki ini adalah keturunan Arab dan beragama Islam. Ketika dipergoki mencuri, dia membuat alibi dengan membuang barang curiannya itu ke rumah seorang Yahudi. Kerabat Thu’mah kemudian meminta perlindungan kepada Rasulullah SAW dengan harapan Nabi yang agung itu bersikap sektarian atas dasar kesamaan ras dan agama. Sebagai manusia biasa, Muhammad SAW hampir saja hanyut oleh hasutan keluarga Thu’mah dan nyaris menghukum penganut Yahudi tak berdosa itu, kalau saja Allah SWT tidak memerintahkan utusan-Nya itu bersikap adil kepada siapa pun, tanpa memandang ras maupun agama. Thu’mah kemudian dihukum, dan si Yahudi itu tidak nantinya dipenjara hanya karena dia menganut agama Yahudi. Kisah monumental ini, di mana Allah SWT memerintahkan utusan-Nya itu bersikap adil dalam menegakkan hukum kepada siapa pun, diabadikan dalam QS An-Nisa (4) ayat 105:


إِنَّا أَنزلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
(النساء : 105)


‘’Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat.’’


Jamaah shalat Iedul Fitri yang dirahmati Allah, demikianlah mestinya kita memilih pemimpin, pejabat negara, dan para wakil rakyat di masa depan untuk Indonesia yang multikultur mirip Madinah di zaman Nabi SAW. Seperti Rasulullah SAW yang tidak menjadi pemimpin untuk umat Islam atau kelompok Muhajirun saja, tapi juga menjadi pemimpin buat Yahudi, Nashrani dan kaum Anshar, seorang pemimpin di Indonesia pun tidak boleh hanya menjadi presiden untuk masyarakat Jawa atau Sumatera saja, atau menjadi presiden untuk umat Islam dan Nashrani saja, atau lebih parah lagi menjadi presiden untuk satu golongan dan satu organisasi saja. Dia harus menjadi kepala negara untuk semua dan bersikap adil juga untuk semua. Tanpa keadilan dan kepastian hukum seperti ini, tak mungkin nasionalisme terbangun, mustahil patriotisme tumbuh subur.

Contoh kedua hukum diterapkan atas Aisyah RA, isteri baginda Rasulullah SAW. Pada bulan Sya’ban tahun 5 Hijriah, pernah timbul gosip dan desas-desus yang tidak mengenakkan antara istirinya, Aisyah RA, dengan sahabat Nabi sendiri, Shafwan bin Mu’aththal. Agar desas-desus ini tidak berlarut-larut mengguncangkan umat Islam saat itu, Rasulullah SAW lalu tidak segan-segan membentuk tim pencari fakta untuk menginvestigasi kebenaran gosip itu, kendati gosip ini melibatkan istrinya sendiri, Aisyah RA [lihat QS an-Nuur (24): 11 – 20].

Contoh ketiga adalah hukum diterapkan atas Rasulullah SAW sendiri. Jika selama ini di Indonesia para pejabat negara tampaknya kebal hukum, Rasulullah SAW sebagai pemimpin tertinggi Madinah dan juga Makkah justru tampil egaliter. Saat menyampaikan khutbah perpisahan atau dikenal sebagai khutbatul-wada’, Nabi SAW meminta hukum ditegakkan atas dirinya sendiri. Jika ada kesalahan yang dia lakukan selama dia menjadi pemimpin, baik disengaja maupun tidak, Rasulullah SAW saat itu meminta dengan serius agar hukum qishash diberlakukan atasnya, agar di akhirat nanti ia terbebas dari dosa terhadap sesama manusia dan tak ada alasan bagi seorang anak manusia pun untuk menggugatnya di hadapan Tuhan Sang Penegak Keadilan yang Mahaadil. Demikianlah Rasul yang agung itu meninggalkan contoh yang baik buat pemimpin negara di mana pun mereka berkuasa saat ini, atau untuk siapa pun yang nanti berkuasa di masa depan.

Sidang Iedul Fitri yang dirahmati Allah SWT, demikianlah khutbah singkat ini disampaikan, semoga dengan memahami konsep takwa secara benar, kita menjadi hamba-hamba Allah yang taat dan selalu ingin menebar kesalehan sosial. Semoga kisah-kisah dan keteladanan Rasulullah SAW saat membangun Yatsrib sebagai negara baru dengan melakukan eksperimentasi yang memukau tentang multikulturalisme di laboratorium sosial-politik-budaya-ekonomi bernama al-Madinah al-Munawwarah membuat kita lebih bersemangat lagi membangun persaudaraan di antara sesama warga bangsa. Perbedaan apa pun yang terjadi saat kita bahu-membahu membangun Indonesia Raya yang berjaya ini hendaknya dapat kita selesaikan dalam semangat dan koridor persaudaraan Islam, persaudaraan kebangsaan, dan persaudaraan kemanusiaan dalam bingkai dan platform Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga.

جَعَلَنَا الله ُوَإِيَّاكُمْ مِنَ الْفَائِزِيْنَ الآمِنِيْنَ. وَأَدْخَلَنَا وَإِيّاكُمْ فِي عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.

Tidak ada komentar: