Selasa, 09 Desember 2008
Islam dan Alienasi Masyarakat Modern
Oleh: Drs. Helmi Hidayat, MA
(Tulisan ini dicuplik dari buku Pemikiran Islam Kebangsaan terbitan Baitul Muslimin Press yang saya edit.)
Gemuruh mesin-mesin industri abad 17 di Eropa Barat pernah melahirkan Karl Marx yang gelisah. Filsuf Barat yang hidup antara 1818 – 1883 ini risau melihat kaum buruh di sana hanya menjadi korban era revolusi industri. Bukan cuma tenaga mereka yang dibayar murah oleh para pemilik modal yang serakah, tapi bahkan sisi kemanusiaan mereka pun terenggut. Para buruh itu, yang semula adalah petani dan karenanya punya banyak waktu bercengkerama dengan keluarga di rumah, saat itu harus tenggelam seharian di pabrik-pabrik dengan gaji yang kurang memadai. Modernisasi dengan mesin-mesin industrinya yang mewah dalam sekejap telah menggeser mereka dari gattung (makhluk alamiah) menjadi mesin-mesin pekerja yang terpinggirkan.
Marx berpendapat masyarakat seperti ini harus dibela. Ia menginginkan sebuah revolusi terjadi dan melahirkan sosialisme, agar tidak ada lagi kelas kapitalis yang memeras di satu sisi dan kelas proletar yang diperas di sisi lain. Intinya ia menginginkan kaum buruh itu tersadarkan dari posisi mereka sekarang. Namun sayang, demi mencapai obsesinya yang luhur itu, ia antara lain menyarankan agar masyarakat menjauhi agama. Agama di mata Marx hanya menjadi candu buat masyarakat. Para pemuka agama, kata dia, hanya mengajarkan sikap-sikap apatis, pasrah pada nasib, dan karena itu bertentangan dengan gagasan perlawanan dan revolusi sosial yang ia gembor-gemborkan.
Pikiran Marx tentang betapa masyarakat abad 17 sesungguhnya tercerabut dari gattung, teralienasi akibat industrialisasi yang mereka ciptakan sendiri, menginspirasikan Friedrich Nietzsche (1844 – 1900) untuk menulis banyak buku tentang eksistensialisme. Inti ajaran Nietzsche adalah bahwa setiap manusia harus selalu menyadari bahwa dia adalah makhluk super dan bereksistensi tinggi dan mulia. Karena itu manusia tidak boleh ditundukkan oleh modernisasi, industrialisasi, atau kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya, termasuk oleh konsepsi tentang keberadaan Tuhan di kepalanya sendiri sekalipun. Jika Marx menyatakan agama adalah candu masyarakat demi mengembalikan eksistensi manusia ke posisi gattung, Nietzsche bertindak lebih jauh: Dia mengumumkan kematian Tuhan!
Demikianlah, setelah itu para pemikir besar seolah berlomba-lomba menulis buku tentang terjadinya alienasi masyarakat modern vis a vis modernisasi yang mereka ciptakan sendiri. Albert Camus, misalnya, menyebut masyarakat modern yang teralienasi itu sebagai orang asing (the stranger) yang melata di muka bumi, sementara Jean Paul Sartre mengarang buku tentang betapa masyarakat modern sesungguhnya terus-menerus dalam kondisi cemas menghadapi kehidupan yang ganas saat ini.
Kesimpulan Marx, Nietzsche, Camus, Sartre dan banyak pemikir sejenis tentang terjadinya alienasi di tengah masyarakat modern bisa jadi benar, bahkan terus berlanjut hingga kini. Gedung-gedung tinggi pencakar langit, pabrik-pabrik bermesin raksasa, pasar-pasar penuh persaingan dan polusi, semuanya mengepung dan menggiring masyarakat kota-kota besar itu untuk menjadi bagian dari mesin-mesin industrialisasi dan modernisasi. Di kantor pun, sepanjang hari mereka ‘’dipenjara’’ di ruang-ruang ber-AC penuh meja, komputer dan alat-alat kantor, sementara mesin absensi tidak lagi mengenal jatidiri mereka yang asli kecuali sebagai angka-angka dan simbol-simbol mesin pekerja. Mereka benar-benar dikontrol secara ketat oleh sistem kerja kapitalistis. Kasus seorang wanita muda di Jakarta, misalnya, yang pada pertengahan September 2007 lalu tewas meloncat dari sebuah apartemen tinggi sambil menggendong anaknya yang baru berusia dua tahun, adalah gambaran betapa alienasi diri itu bisa menerpa siapa saja dengan dampak yang sangat hebat. Orang selama ini mengidentikkan bunuh diri dengan kenekatan orang-orang miskin yang lelah hidup dengan penderitaan mereka. Tapi, dalam kasus ibu beranak satu yang nekat bunuh diri itu, bukankah ia tinggal di apartemen mewah simbol keberhasilan material?
Namun demikian, benarkah sebagai solusi dari keterasingan diri itu orang justru harus menjauh dari agama seperti kata Marx, membunuh Tuhan seperti kata Nietzche, merasa asing di tengah keramaian seperti kata Camus, atau bahkan terus-menerus cemas menghadapi kenyataan seperti kata Sartre? Jawabnya tentu tidak. Saat ini orang ramai membicarakan bahwa dalam diri seorang anak manusia ternyata tidak hanya terdapat intelligent quotient (IQ), tapi juga emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient (SQ). IQ adalah alat dan sarana seseorang untuk mengenal lingkungan faktual di sekitarnya, sementara dengan SQ seseorang dapat mengetahui bukan cuma alam nyata di sekitarnya, tapi juga hal-hal gaib di luar dirinya. Fakta bahwa manusia bukan hanya menyadari masa kininya, tapi juga menyadari masa lalu (gaib) dan merencanakan masa depannya (juga gaib) adalah bukti bahwa manusia tidak hanya bergantung pada IQ, tapi juga pada EQ dan SQ.
Dari sini kita bisa melacak mengapa Marx, Nietzche, Camus, Sartre dan banyak pemikir sejenis lainnya gagal memberikan solusi atas alienasi diri yang melanda masyarakat modern. Mereka ternyata hanya bergantung pada IQ ketika mencari solusi itu. Padahal, hanya bergantung pada akal saja orang akan gagal mencari solusi hidup. Ada substansi lain dalam diri manusia yang harus disentuh dan diasah selain akal, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut qalb. Inilah substansi yang diberikan Allah kepada manusia, yang dengan itu manusia bisa mengenal hal-hal gaib di luar diri mereka. Jika manusia tidak mengasah substansi ini, Allah SWT bakal menurunkan derajat mereka ke martabat yang lebih hina dari binatang, sementara di akhirat mereka bakal dijebloskan ke neraka Jahanam. Firman Allah SWT dalam QS Al-A’raaf: 178: ‘’Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka punya qalb tapi tidak menggunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), punya mata tidak menggunakannya untuk melihat (ayat-ayat Allah), punya telinga tidak menggunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti binatang, bahkan lebih hina lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.’’
Allah SWT bukan tanpa desain yang sempurna ketika menurunkan kitab suci Al-Qur’an di zaman modern. Kitab suci yang diperuntukkan untuk zaman ini haruslah berisi ajaran yang elastis, dinamis, kompatibel untuk segala zaman dan ruang. Untuk menjawab kegalauan Marx atas eksploitasi para kapitalis atas kaum buruh, Al-Qur’an sejak awal menyatakan dirinya sebagai kita suci yang tak ada keraguan terhadapnya dan menjadi petunjuk buat orang-orang bertakwa, yakni mereka yang beriman dan mengasah qalb mereka untuk memercayai yang gaib, mendirikan shalat dan memberi nafkah dari rejeki yang diberikan Allah SWT kepada mereka. Inilah yang ditegaskan Allah SWT dalam QS Al-Baqarah: 1 – 2, ‘’Kitab itu tidak ada keraguan terhadapnya, menjadi petunjuk bagi mereka yang bertakwa; yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.’’
Konsep memberi nafkah jelas tidak ada dalam kamus para kapitalis yang cenderung serakah dan eksploitatif, yang karena itu Marx menjadi galau. Padahal, al-Qur’an justeru menyuruh kita mengambil zakat dari para pemilik modal. Jika hal itu dilakukan, Allah SWT bukan hanya berjanji akan membersihkan jiwa si pemilik modal itu dari sifat-sifat kikir dan kerat-kerat dosa yang sangat mungkin tersangkut ketika mereka berbisnis, tapi juga akan mencerahkan jiwa mereka yang karena itu mereka cenderung menghindari kerakusan dan eksploitasi. Inilah janji Allah SWT itu, yang diabadikan dalam QS: At-Taubah: 103: ‘’Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka …’’
Jika Marx masih hidup, mungkin dia akan tersenyum melihat teorinya tentang eksploitasi kaum kapitalis mendapatkan pembenarannya ketika gerakan reformasi meletus di Indonesia pada 1998. Saat itu banyak masyarakat merampas barang dagangan supermarket atau menjarah barang pabrik dan perusahaan besar tertentu. Ini terjadi karena masyarakat merasa selama ini supermarket mewah dan pabrik-pabrik raksasa itu hanya memamerkan kemewahan, menimbulkan kecemburuan sosial, menghisap pengusaha kecil, dan cenderung eksploitatif. Namun, tindakan Barbaristik itu tidak akan terjadi, atau setidaknya bisa diturunkan tingkat keparahannya, jika saja konsep corporate social responsibility (CSR) yang sudah banyak dilakukan perusahaan-perusahaan di Eropa sejak dekade 1980-an juga dilakukan di Indonesia secara massif. Dengan melaksanakan CSR berikut program-programnya yang merangkul dan menguntungkan masyarakat sekitar, sebuah supermarket atau pabrik sesungguhnya tengah membangun pagar hidup di sekitar mereka. Pagar-pagar hidup inilah yang akan membela mati-matian dan menjaga pabrik-pabrik itu dari penjarahan. Masyarakat penikmat CSR itu sadar, jika pabrik itu terganggu atau bangkrut, mereka tak lagi bisa menikmati buah-buah CSR. Marx harus tahu, konsep CSR yang kin banyak diterapkan di Indoensia adalah setali tiga uang dengan konsep zakat yang diperintahkan Al-Qur’an sejak 14 abad lalu.
Sementara untuk menjawab kebuntuan Nietzche hingga ia harus menafikan eksistensi Tuhan, jawaban bagus pernah diberikan oleh Abbas Mahmud Al-Aqqad, pemikir asal Mesir. Menurut dia, jika seseorang menafikan keberadaan Allah, alih-alih menjadi superman, orang itu justru tenggelam dalam nihilisme. Al-Aqqad menganalogikan orang yang membunuh konsepsi tentang Tuhan dari kepalanya sendiri ibarat seseorang yang berdiri di padang pasir yang luas membawa lampu senter. Jika tak ada satu benda pun berdiri tegak di depan orang itu yang dapat memantulkan cahaya lampu senter tadi ke matanya, cahaya lampu senter tak akan pernah terlihat alias nihil.Orang itu akan selamanya berada dalam kegelapan padang pasir. Demikianlah jika Allah tak ada, maka seluruh amal baik kita di dunia ini menjadi nihil, tak ada yang mencatat dan memberi reward. Seluruh amal perbuatannya bak fatamorgana, seperti ditegaskan Allah SWT dalam QS An-Nur: 39, ‘’Orang-orang yang kafir amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar …..’’
Nabi Muhammad SAW memang pernah mengibaratkan orang hidup di dunia ini laksana seorang musafir. Tapi, jelas musafir yang dimaksud bukanlah orang asing (the stranger) kehilangan arah lalu dilanda frustrasi seperti yang dilukiskan Albert Camus. Layaknya musafir, kata Nabi, hendaknya setiap orang mengumpulkan harta di dunia ini hanya untuk bepergian sementara, bukan untuk tinggal selamanya. Manusia harus selalu ingat mereka bakal mati dan seluruh perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti. Dengan percaya pada kehidupan setelah kematian, percaya pada yang ghaib, seorang musafir niscaya akan selalu optimistis memandang kehidupan di dunia ini. Si musafir selalu yakin, Dia yang Ghaib dan bersemayam di Arsy sana selalu membimbingnya menuju jalan lurus selama dia menjalani kehidupan sementara di muka bumi ini. Ini karena siang dan malam, pagi dan sore, si musafir tak pernah lupa dalam shalat-shalatnya selalu berdoa: ‘’Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan yang Kauanugerahkan kepada mereka yang Kauberi nikmat, bukan jalan yang Kaumurkai dan Kausesatkan.’’ (QS Al-Fatihah: 4-6)
Sedangkan untuk mengeleminasi kecemasan menghadapi industrialisasi, modernisasi dan kini globalisasi seperti yang dirisaukan Sartre, Al-Qur’an mengajak kita mengasah SQ kita, memberdayakan qalb kita, dengan banyak berzikir pada Allah SWT. ‘’Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allahlah hati menjadi tenteram.’’ (QS Ar-Ra’d: 28).
Dengan kerja keras sebagai musafir yang terus berzikir dan membekali diri, dengan terus berbagi kepada wong cilik seperti yang dikonsepkan dalam zakat, dengan terus percaya pada peran Yang Mahaghaib yang senantiasa membimbing jalan hidup setiap musafir, kita harus yakin tak akan teralienasi oleh gemuruh industrialisasi seperti yang dikhawatirkan Marx, Camus, Nietzche atau Sartre. Alih-alih tergulung oleh derasnya industrialisasi dan modernisasi, dengan berpegang pada ajaran Al-Qur’an dan iman yang kuat kepada-Nya, kita justeru menguasai industrialisasi dan modernisasi itu, menuju Indonesia Raya yang gemah ripah loh jinawi. Semoga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar